Cinta Dalam Angan
Sosokmu
hadir begitu saja, tanpa pernah terangan hadir dalam benakku, lewat perkenalan
yang biasa saja, lalu kau goreskan getir cinta yang teramat luar biasa bagiku,
hingga dalamnya aku terlarut, sesampainya lupa diri terhanyut dalam suasana,
dan akhirnya tak sadar akan keadaaan yang menghadang, seketika tak
terbantahkan; jika aku mencintaimu.
Tidak, jika saja aku ingin jujur.
Rasanya tak ingin rasa ini hadir menyelimuti hati ini, namun rasanya hatiku tak
sanggup untuk menolak sosokmu, sebab tiada alasan untuk tidak menerimamu,
benakku selalu berkata sosokmu begitu sempurna, lantas tak terpungkiri bagi hati
ini jika saja mencintamu adalah pilihan hati ini.
Bicara soal angan, mungkin itu
adalah pengungkapan dari apa yang ku ingin, salahkah jika
aku menginginkan sosokmu lebih dari ini? Entah, aku tak terlalu memberatkannya,
sebab bagiku bisa melindungimu, di dekatmu, dan bisa terus bersamamu adalah
segalanya, dan aku tak ingin kehilangan ini semua-----aku tak sanggup. Untuk
alasan yang sama aku memilih memendam, lalu menjadikan rasa yang ada ini tetap
terkubur dalam------menjadi angan. Aku memilih memendam, karena memendam adalah
cara terbaikku untuk terus bisa bersamamu, walau bukan sebagai sosok satu cahaya,
dalam ruang hatimu.
***
“Kadang,
momen berharga hanyalah sesederhana perkenalan singkat, atau senyum sesaat.”
Semua
berawal dari masa putih abu di sekolahku kala itu, saat itu adalah kali pertama
aku melihatmu, kau sedang menjadi panitia dalam acara perayaan Hari Kemerdekaan
Republik Indonesia, yang dirayakan pada tanggal 17 Agustus, kala itu kau
berjaga di bagian absensi penerimaan peserta lomba, pada saat itu aku ingin
mengikuti salah satu lomba yang disediakan panitia. Ketika itu wajahmu biasa
saja di hadapanku, namun anggapanku mulai berubah saat kita bercakap, rasanya
saat itu aku mulai merasakan ada yang berbeda dari sosokmu.
“Permisi, saya mau mendaftar lomba
cerdas cermat, Kak.”Kataku menghampiri meja pendaftaran.
“Baik, siapa namamu?Katamu dengan
nada cuek.
“Gilang, Kak, kelas X-IPA 1.”
Jawabku.
“Silakan diisi formulirnya, lomba
dimulai besok, jangan terlambat ya.”
“Iya, terima kasih ya, Kak.”Kataku
seraya berjalan pergi.
Kau hanya tersenyum ramah, senyuman
pertamamu untukku, sungguh terpesona aku kala itu melihatmu, begitu indah
senyummu, hingga melekat deras dalam ingatanku.
***
“Sosok
cinta, selalu datang dengan sendirinya, tak pernah kita duga, atau perkirakan.”
Aku duduk sendiri di salah satu bangku, di Alun-Alun
Kota Serang, sembari menikmati hembusan angin senja yang bersepoi, dengan
laptop yang kupangku, jemariku tak henti mengetikan kata demi kata,
tulisan-tulisan yang terukir bebas sesuai ingin hatiku, suasana ramai di
Alun-Alun ibukota Banten yang tak pernah sepi ini membuatku tak merasa sepi, walau
hanya terduduk sendiri, sembari kupandangi para pasangan-pasangan yang duduk
berdua, atau kutengoki pasangan yang sedang jogging
bersama, seraya juga imajinasiku mengolah kata, yang kadang mengkhayalkan
sosokku berada di posisi itu, duduk berdua bersama seorang wanita yang kucinta,
atau jogging bersama dengan penuh
tawa. Sesampainya, aku tersentak, melihat wanita yang seolah tak asing,
menengok ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mencari sesuatu, seperti sedang
kebingungan.Ia berjilbab apik, pakaiannya begitu berbeda, begitu cantik dan
kupandangi banyak pria memandanginya, segera kuambil inisiatif untuk
menghampirinya, sebelumnya ku masukkan laptopku ke dalam tas, lalu dengan
berdebar kuhampiri wanita cantik itu.
“Kak?”Sapaku dari belakang.
Kau terlihat kaget, wajahmu tak
karuan sebentar, seolah merasa asing.
“Saya Gilang, Kak.”
“Oh ya! Kamu Gilang! Maaf saya
lupa.” Sahutmu sembari tertawa.
“Sedang menunggu orang, Kak?Tanyaku.
“Iya, tapi tadi dia sudah mengirim
SMS, ia datang agak terlambat.”
“Oh, baiklah bagaimana kalau saya
temani saja?Kita jalan-jalan disini sebentar, sembari menunggu temanmu datang,
Kak.”Tawarku panjang.
“Ide bagus!”Jawabmu dengan senyum
ceria.
“Kak, pernah dengar pribahasa ‘tak
kenal maka tak sayang’?”Ujarku dengan nada menyindir.
“Astaghfirullahaladzhim,
maaf lagi-lagi saya lupa.Perkenalkan, Diani Ashinta kelas 12-IPA 5.”Ucapmu
seraya mengulurkan tangan kananmu dengan senyum ramah.
“Gilang Areza.” Balasku mengulurkan
tangan, dengan sedikit malu-malu.
Setelahnya kami berjalan berdua
mengitari Alun-Alun Kota Serang, seraya berbagi banyak cerita dan pengalaman,
ia adalah orang yang sangat bersahabat, caranya berbicara dan merespon setiap
apa yang kukatakan membuatku terkesan, caranya menanggapi setiap cerita ataupun
ucapanku selalu membuatku tertawa, kau begitu istimewa, Kak. Sekitar setengah
jam sampai akhirnya kita duduk berdua di salah satu bangku panjang yang ada di
Alun-Alun, kita kembali melanjutkan obrolan santai kita, ternyata kau begitu
menyukai karya sastra, kau juga ternyata sering membaca novel ataupun cerita
pendek, dan kau juga berkata kalau kau begitu menyukai tulisanku ketika aku
menunjukkannya padamu. Entah, kau begitu membuatku terlarut dalam suasana ria,
walau ini adalah pertemuan perdana kita, mungkin lebih tepatnya perbincangan
pertama, tapi tak sedikitpun kita canggung, seolah seperti orang yang sudah
saling mengenal. Sekitar satu jam, aku tak sadar terbawa suasana, kau membuatku
terpadu dalam hangatnya melodi ria, sampai waktu terasa sangat cepat, detik
waktu melangkah tanpa ragu, hingga tak terasa kita sudah cukup lama berbincang.
Sampai akhirnya, temanmu datang menyapa, lalu kau beranjak pergi
meninggalkanku, dengan salam senyum kau melambaikan tangan meninggalkanku.
Entahlah, aku tak dapat bicara saat
ini, terbuai oleh indahnya senyummu, terhempas terbang oleh sosokmu yang begitu
memukau, kau begitu berbeda, kau begitu sempurna. Seolah bertemu dengan
malaikat yang teramat indah, sebahagia itu aku kini, jika saja aku bisa
mengungkap apa yang kurasa, mungkin yang kurasakan kini adalah “Cinta pada
pandangan pertama”. Namun, tak terlalu kugubris, aku tak mungkin segegabah itu,
sejujurnya aku tak pernah percaya cinta pada pandangan pertama, karena rasanya
tak mungkin rasa sedalam cinta hadir sekejap, yang kupercaya adalah cinta akan
hadir seiring waktu, proses, momen, serta perjuangan yang ada, selebihnya soal
rasa yang hadir pada pandangan pertama, menurutku adalah awal dimana rasa itu
tumbuh. Beruntunglah, aku sempat menanyakan akun Twitter-nya, hingga aku bisa
tetap mengenalnya lebih jauh, dan lebih dekat.
***
“Kadang,
bagian paling menyakitkan dari berharap adalah menyadari, bahwa ada harapan
yang tak mungkin terwujud, atau hanya menjadi angan belaka.”
4
hari setelah mendapatkan akun Twitter-mu, segera ku follow akunmu, luar biasa, kau lagi-lagi memukauku dengan avatar Twittermu yang teramat cantik
sederhana. Ya, itu yang kusuka darimu, kau cantik tidak dengan make up, kau cantik dengan senyummu,
serta jilbabmu yang apik, tak hanya cantik, pun juga suci. Tanpa pikir panjang,
tombol follow sudah ku-klik, lalu tak
lupa kuminta followback darimu,
sembari berharap media ini akan memperantaraiku untuk mengenalmu lebih jauh.
Sejujurnya, salah satu alasanku meminta
Twittermu, adalah aku ingin mengetahui apakah kau memiliki kekasih atau tidak,
sebab aku tak berani dengan lancang menanyakan langsung hal itu padamu---di
pertemuan kemarin.Tak terpampang jelas soal itu, tampaknya kau bukan orang yang
terlalu terbuka di dunia maya, kujelajahi tweet-mu,
kau hanya sesekali update, itupun
tidak tentang kisah percintaanmu.Bukan karena aku begitu gegabah untuk segera
mengetahui apakah kau memiliki kekasih atau tidak karena ingin segera
mendekatimu, namun rasa penasaran ini hadir semata karena
keingintahuanku.Entah, kurasa apapun yang kuterima nantinya, aku sudah
seharusnya siap.
Sehari setelahnya, kau rupanya sudah
meng-followback akunku, aku tersenyum
kala itu, tersenyum bahagia karena ini pertanda baik bagiku. Namun kenyataan
pahit menimpaku, setelah kutelusuri dan telusuri, aku berhasil menemukan akun
kekasihmu, terlihat jelas ia menuliskan namamu di biodata Twitternya, terlihat
jelas ia begitu menyayangimu.Entah, seperti tersayat secara perlahan, sedikit
ada rasa sakit menerimanya, walaupun sudah kutekankan pada hatiku untuk tidak
bersikap seperti ini.Namun, ini kenyataan yang sudah harus kuterima.Tidak,
kurasa ini tidak seharusnya menjadi masalah, bukankah kita masih bisa
berteman?Aku terus mencecar hatiku agar tak terbelunggu bersama harapan,
setidaknya sudah saatnya kita menjadi dewasa dengan menerima kenyataan bukan?
***
“Cinta
tak harus tentang memiliki, dalam kadar tertulusnya, cinta mampu membuat rasa
ingin memiliki itu tertutup oleh keinginan membahagiakan tanpa pamrih,
ketulusannya begitu halus, sehalus rasa ingin membahagiakan itu sendiri, meski
tanpa memiliki.”
Jika
harus berkata pahit atau tidak, mungkin ini lebih dari pahit. Mencintai orang
yang bahkan tak bisa kita selalu hadirkan dalam detik waktu, bahkan sungguh tak
wajar jika dihadirkan dalam ingat, namun apalah daya ketika sosoknya begitu
abadi menjamah hati ini, hatiku tak mampu berlari, atau melihat sosok lainnya,
sebab ia telah tersekat pada satu nama, nama yang bahkan tak bisa kusebut
dengan mesra, wajarkah? Tidak.Namun, bukankah cinta kadang membuat orang tak
wajar? Rumit, jika harus mempermasalahkan itu
Keberadaaan sosoknya mungkin begitu
menjadi tembok, namun itu tidak bagiku, bagiku tembok sesungguhnya adalah
sosokmu yang begitu sempurna, tak ada celah bagiku untuk mencari apa
kekuranganmu, dan jikapun ada aku tak masalah. Sebab bagiku, kaulah yang paling
sempurna. Meski tahu betul kau sudah dimiliki, namun hatiku tak takut, tak
pantang menyerah, entah mengapa sepertinya ia tak ingin menghilangkan sosokmu.
Bahkan, bunga tidurkupun adalah sosokmu yang senantiasa hadir, apakah itu semua
pertanda?Atau hanya aku yang bodoh dengan jatuh terlalu dalam padamu?Atau hatiku
yang sudah mulai buta?
Semenjak hari itu, kau denganku
menjadi sering bersama di beberapa kesempatan, tak jarang kau memintaku untuk
menemanimu disekolah hanya untuk sekadar mencurahkan isi hatimu, tentang
kekasihmu yang seringkali menyakitimu. Ada satu hal lagi yang kukagumi darimu,
kau adalah seorang yang setia, rupanya hubunganmu dengan kekasihmu sudah
menginjak waktu 2 tahun, meski dengan urai air mata yang berlimpah, kau tetap
berteguh pada satu nama.
Kini, aku sadar, peran apa yang
harus kuambil, mungkin menjadi sahabatmu adalah pilihan terbaik. Karena dengan
cara itu, aku tetap mampu menjaga, mencinta, dan tetap bisa berada di dekatmu,
tanpa perlu mengungkap apa yang ada dalam benakku. Mungkin berat, harus
bertingkah seperti itu, namun dengan ketulusan yang kupunya, aku bisa
melakukannya. Aku tahu betul, kau tak sadar sedikitpun dengan apa yang
sebenarnya kurasa ini. Setulus inilah aku, berperan sebagai sosok pahlawan
dalam gelap, yang bahkan cahaya cintanya tak bisa kau lihat.
***
“Mengucap
cinta adalah mudah bagi setiap insan, tak ada yang sulit. Namun, pada akhirnya
kita akan sadar, bahwa hati tak bisa dipaksa, logikapun akan mengerti tentang
hati, dan siapa pemiliknya, pada akhirnya.”
Aku
denganmu mulai terbiasa bersama, melewati momen berdua, meski kadang sebisa
mungkin aku harus pandai membatasi diri, berdrama sebagai seorang sahabat
adalah hal yang tak mudah, sebab pada beberapa waktu aku harus melawan
hati.Namun, andai kau tahu, setiap temu, canda, tawa, dan momen berdua
denganmu, adalah masa dimana cinta di hati ini semakin mendalam, dan
mendalam.Yang tak kumengerti adalah kau begitu menganggapku ada, padahal aku
hanya seorang yang baru kau kenal, namun kau begitu memperhatikan sosokku, kau
begitu menganggap sosokku ini ada, dan dihargai.Mengapa?Aku tak tahu pasti,
mungkin saja karena kau memang orang yang baik, atau mungkin saja kau baik
karena akupun baik padamu.Tidak, aku tidak tahu pasti.
Aku mulai jengah akan sepiku, dan
amarah kecemburuanku padamu dan kekasihmu, aku memutuskan untuk berpacaran
dengan salah seorang temanku, yang sudah lama menyukaiku. Tidak, pada awalnya
aku memang benar-benar mencintanya, ah mungkin lebih tepatnya menyukainya, dan
pada akhirnya akupun sadar terhadap apa yang kurasa, meski menjalin hubungan
dengannya, namun tetap saja hatiku terfokus pada satu nama----namamu. Berat,
jika harus memaksakan hati, bersama dengan orang yang tidak kita sayang,
sungguh lebih menyakitkan, dibanding menerima kenyataan untuk tidak bisa
bersama dengan orang yang kita sayang.Mengapa?Kupahami, karena semua adalah
tentang hati, dan juga cinta.
Kaupun tahu akan hal itu, yang tidak
kau tahu adalah aku tidak mencintainya. Yang kau tahu, aku begitu mencintainya,
selayaknya kau mencintai kekasihmu.Lengkap sudah bukan aktingku sebagai seorang
sahabat?Ya, benar.Namun, kala itu malam Minggu, saat kekasihku juga kekasihmu
tak bisa hadir menemani karena ada kepentingan lain, waktu itu kau mengajakku
bermain, di tempat kita pertama bertemu, Alun-Alun Kota Serang. Kita saling
mencurahkan isi hati, berbagi soal kisah antara kekasihku juga kekasihmu, aku
sudah tak bisa memendam lagi, akhirnya kuceritakan semua padamu, tentang
perasaanku pada kekasihku yang menghilang, aku ingat betul apa yang kau katakan
kala itu “Hati itu tak bisa dipaksakan, mulutmu bisa saja berkata mencintai
orang yang berbeda, namun hatimu akan menjawab semua, pada akhirnya kita akan
sadar, siapa pemilik hati ini,” Katamu dengan senyum yang serius, apa yang kau
katakan seolah kau simpulkan dari apa yang pernah kau rasakan, begitu menyentuh
jiwaku. Kau juga bercerita, bahwa kau sudah lelah akan hubunganmu, dan kau
sudah benar-benar siap jika harus berpisah, entah aku harus berkata apa, ada
rasa senang yang menggumpal tak terungkapkan. Tidak, aku tidak seharusnya
senang diatas dukamu, lagipula ada atau tidak kekasihmu aku tetap akan memendam
bukan?
Setelahnya aku mulai sadar, karena
ada ataupun tidak sosok kekasihmu, aku akan tetap memilih memendam. Alasanku,
aku tak pantas untuk bersamamu. Bukan, bukan karena aku merendahkan diriku,
hanya ini memang kenyataan yang ada, kau adalah wanita yang sangat baik, jauh
denganku yang masih memiliki banyak sisi kekurangan, selain itu hanya menunggu
beberapa bulan lagi kau akan segera lulus dan pergi kuliah, pantaskah seorang
pelajar sepertiku ini memilikimu? Tidak, rasanya aku merasa tak sanggup.
Lagipula, kau tak memiliki perasaan yang sama denganku bukan? Meskipun ku tahu
betul, hati seseorang hanya seseorang tersebut yang menggetahui
sepenuhnya.Lalu, aku hanya takut jika kelak aku jujur, kau tak menerimanya,
berbalik marah, atau menjauh. Aku terlalu membutuhkanmu untuk melakukannya,
karenannya memendam adalah pilihan yang cukup bijak untukku kini, meski sudah
sepantasnya setiap cinta baiknya diungkapkan dan dikatakan, namun keadaan tidak
mengindahkanku kini, mungkin nanti-----suatu saat, akan ada waktu yang sudah
kunanti itu, untuk mengungkap, dan menyatakan tentang cinta yang mendalam ini.
Bukan karena aku tidak memilih menjadi pria sejati yang pengecut untuk tidak
mengatakan apa yang ada, namun kini aku memilih menjadi pria sejati yang merelakan
kebahagiaannya, hatinya, dan dengan berbesar jiwa aku akan tetap menjagamu,
dalam sosok cahaya, dalam sosok bintang, yang cahayanya tak nyata di matamu.
Soal cinta yang tak terucapkan, aku sejujurnya mengungkapkan cintaku ini, lewat
pengorbanan yang kulakukan, lewat perjuangan yang kuberikan. Tanpa peduli,
kelak kau akan menjadi milikku atau tidak, aku siap akan setiap takdir yang
akan ada di depan kelak, aku percaya akan takdir soal jodoh---jika jodoh pasti
bertemu. Yang terpenting adalah, aku mengikuti apa yang ada dalam hatiku, dan
betapapun rasa ingin memiliki ini hadir, tetap ketulusanku untuk menyimpanmu
dalam mimpi adalah pilihanku, pilihan hatiku.
***
“Dan
ketulusan mampu mengubah rasa ingin memiliki, menjadi rasa ingin
membahagiakan.”
16
Juni 2010
Kelulusan
tiba, ada yang menyedihkan dibalik kelulusan untuk angkatan 2 tahun sebelumku,
meskipun ini bukan perpisahan dan kelulusan bagiku, namun aku turut pedih
merasakannya, mengapa?Sebab cintaku hadir disini, sebab terdapat sosok peri
yang mampu mengajarkanku banyak soal arti ketulusan, bahkan memberiku arti soal
cinta yang sesungguhnya. Dia akan pergi, mengejar mimpi, menggapai angannya.
Tugasku kini, adalah merelakannya pergi, menghempaskan segala kenangan yang
pernah hadir di gedung sekolahku ini, lalu membiarkanmu melangkah maju dengan
senyuman, pertanda tak ada yang harus kau persedihkan disini.
Tak lupa, aku menyiapkan kado
perpisahan, berharap agar kau takkan melupa ada sesosok orang yang mencintamu
tulus, meski yang kau tahu ia adalah sahabatmu. Harapku, kado perpisahan ini
akan menjadi jembatan batin antara kau denganku, agar perpisahan ini tak
benar-benar menjadi perpisahan selamanya.
Tanpa kuduga, ketika aku memberikan
kado ini kau juga sudah mempersiapkan kado balasan untukku, aku tercengang kala
itu, tak menyangka dengan apa yang kau berikan, perpisahan ini menjadi sangat
berarti, karena ternyata kau menganggapku ada, bahkan rautmu terlihat gusar
saat bertatap denganku, seperti ada pedih yang kau pendam. Aku memintamu untuk
foto berdua denganku, karena sebelumnya kita memang tak punya foto berdua, dan
akhirnya kau mengabulkannya, aku berhasil foto berdua denganmu.Sungguh indah
bukan?
Petaka tiba, seminggu setelah
kejadian foto dan pemberian kenang-kenangan itu, kekasihku Raina, memintaku
untuk mengakhiri hubunganku dengannya, karena ia merasa bahwa aku menyukai Kak
Diani, aku tercekak saat mendengarnya, tak bisa berbicara karena apa yang ia
katakan memang benar adanya. Sudah kucoba untuk menjelaskan padanya, jika kami
hanyalah sebatas sahabat, namun itu tak dapat melunturkan niat bulatnya untuk
mengakhiri semua.Hingga aku benar-benar mengiyakan permintaannya.Hubungan
kitapun berakhir, begitu saja.Ada rasa sedih yang mendalam, aku seolah sudah
menjadi pria jahat yang menyakiti hati wanita, yang membohongi perasaan
sendiri, aku berjanji pada diriku sendiri hal semacam ini takkan terulang.
Harapku, Raina akan menemukan penggantiku, yang lebih baik dariku. Dengan
berbesar hati aku merelakannya pergi, meski linangan air matanya membuatku
pedih, betapa jahat diriku kini. Namun, aku siap menerima konsekuensinya,
termasuk menerima balasan hal yang sama di kemudian hari.
Tak hanya itu, di hari yang sama
ternyata Diani juga mengakhiri hubungannya dengan kekasihnya; Ardi, beralasan bahwa semua sudah
jalan terbaik, berbeda denganku, bukan kekasihmu yang meminta mengakhiri, namun
kaulah yang memintanya. Hanya saja kesamaannya adalah, kekasihmu sama-sama
mengira jika kau menyukaiku. Ada sedikit perasaan bersalah bagiku, karena
merasa telah merusak hubungan orang lain. Salahkah aku? Entah… Kau meyakinkanku
jika ini tak hanya alasan mengapa hubungannya berakhir, masih ada banyak
alasan, dan menurutnya ini tak disebabkan oleh kedekatan kita, selebihnya kau
menjelaskan bahwa ini memang sudah keputusan dan jalan terbaik bagimu, juga
baginya.Pada akhirnya, kau denganku sama-sama harus merelakan kekasih
masing-masing.
***
“Momen,
peristiwa, dan kebiasaan bersama, adalah kenangan yang paling sulit dilupakan.”
Kedekatanku
denganmu ternyata terus terjalin, bahkan rasanya kita semakin dekat semenjak
kau tak lagi hadir disekolah, beruntunglah kau memilih tempat kuliah yang tak
jauh dari rumahmu, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Universitas
besar yang berada di Ibukota Banten, Serang. Entah karena hal apa kita justru
semakin dekat, mungkin karena sudah sama-sama tak punya kekasih hingga kita tak
terlalu membatasi diri, dan lebih lepas. Tak pernah kuduga, kita sampai sedekat
ini, selayaknya seorang kekasih.Meski keadaan begitu indah, namun tak jua
kuungkap isi hatiku ini, sebab rasa tak pantas ini memang hadir menyelimuti.
Aku memilih memantaskan sosokku untuk berdampingan dengan sosokmu dahulu,
barulah aku akan mengungkap apa yang ada. Meski kelak kau akan direbut oleh
pria lain, aku tak peduli, yang terpenting aku sudah memberanikan diri
mengungkap.
Anehnya, sudah sekitar satu tahun
lebih kedekatan kita berlanjut, kau tak juga membuka hati untuk sosok lain,
alasanmu adalah tak siap, takut jika sosok lain hanya akan merusak, entah
mengapa kau selalu beralasan begitu meski pria lain silih berganti mendekatimu,
kau tetap menolak dan menutup hati. Mungkin, begitu jera dirimu untuk menerima
sosok lainnya.Entahlah----- aku tak tahu pasti.
Aku masih ingat apa yang kau katakan
jika bicara soal mencari sosok cinta, kau selalu berkata “Cinta sejati akan
hadir dengan sendirinya, karena cinta sejati sudah dipersiapkan Tuhan, tugasku
hanya menunggunya hadir, dan ketika aku merasakan sosoknya hadir, tugasku
selanjutnya adalah menjaganya.” Kata-kata itu yang selalu meyakinkanku tentang
apa itu cinta sejati.
Sungguh, semakin banyak momen dan
kebiasaan yang kita lakukan kini, dalam setiap momennya aku selalu merasa jatuh
cinta untuk kesekian kalinya, tak pernah tersirat ada perasaan ragu bagiku pada
dirimu, entah ini pertanda bahwa kau adalah cinta sejati itu, atau karena
sosokmulah yang begitu sempurna bagiku.
***
“Pada
akhirnya yang paling menyakitkan dari pertemuan, adalah menyadari bahwa
perpisahan sudah siap menanti.”
Akhirnya
tiba saatnya kelulusan bagiku, hari dimana masa depanku mulai sudah harus
dipersiapkan.Syukurnya, nilaiku tinggi dan memuaskan, aku hanya perlu mengikuti
SNMPTN dan melaju mencari tempat kuliah yang kuinginkan, hanya doa-doa
kulantunkan berharap segala yang terbaik untuk masa depanku.
Inginku, aku mengambil jurusan
Sastra, namun kuketahui jika di Untirta tak ada fakultas sastra, artinya aku
harus mengubur mimpi untuk satu kuliahan denganmu.Diluar dugaan, mimpiku
terwujud, Aku diterima di Universitas Indonesia, Fakultas Sastra, luar biasa,
mimpiku ini terwujud.Aku tak dapat mengekspresikan betapa bahagia diriku kala
itu, walaupun segurat kesedihan membelunggu kala tahu jika harus berpisah
dengan sosok cintaku disini.Apa ini? Kebahagiaan yang bercampur dengan
kesedihan? Haruskah aku menangis?Atau tertawa?
Aku tak langsung mengatakan ini
padamu, aku menunggu pertemuan kita tiba, dan akan jujur mengatakannya, walau
sebenarnya berat, namun ini demi masa depanku. Aku tak tahu apakah tanggapanku
nanti, mungkinkah kau akan serela kala aku melepasmu dari sekolah? Aku berusaha
memotivasi diri, kita harus rela, kadang dalam hidup sudah sepantasnya kita
memilih apa yang terbaik bagi kita bukan?
***
“Dalam
perpisahan, selalu ada air mata, dan kadang menyakiti adalah pilihan agar
setidaknya ia akan merelakan sosok kita, meski dalam kepedihan.”
Tak mungkin ada perpisahan yang tak mengurai air
mata, namun kadang perpisahan adalah hal yang pasti terjadi, walau terjadi
kadang di waktu yang tak pernah kita tahu. Seperti halnya aku, yang tak pernah
tau mengapa perpisahan terjadi secepat ini, namun tak jua kusesali karena
bagiku ini memang sudah jalannya, jalan untukmu juga untukku. Perpisahan raga
tak mengartikan perpisahan jiwa bukan? Ya, karenanya aku masih percaya jika
cintaku ini akan tetap kuat walau jarak menghadang kelak.
Hanya kenang-kenangan sederhana ini yang akan
berbahasa untuk menyiratkan betapa besar cintaku, betapa tulus kasihku, padamu.
Dan biarkan kenang-kenangan yang kubuat sendiri ini akan menjadi alasan mengapa
kau tak melupaku, setidaknya aku hanya ingin kau kenang sesekali, meski sebagai
seorang sahabat yang mendustai dirinya jika ia memiliki perasaan lebih.
Sebatas rekaman suara yang berbentuk tape recorder disertai bunga mawar, akan mengarungi hatimu, akan
membuatmu menjelajah segala kenangan yang pernah hadir terukir, dan akan mulai
menggemingkan hatimu tentang seorang pria yang begitu tulus cintanya, padamu.
Jika ada yang tak kuungkap secara langsung, mungkin hanya keadaan yang membuat
semuanya tak terucap, termasuk tentang rasaku.
Sudah kuputuskan, untuk segera mengungkap semua,
tentang perasaan yang sekian lama kupendam sendiri, aku tak peduli dengan apa
respon yang akan kau beri nanti, setidaknya aku sudah memberanikan diri untuk
jujur terhadap perasaan. Selebihnya, kau yang menentukan, meski harus berujung
pada kecewamu kelak, aku sudah siap. Harapku, kau akan menerima, menerima
pengungkapan ku ini, setidaknya aku akan melangkah dengan senyuman, karena tak
ada lagi yang kupendam sebelum pergi.
Drrrrtt,
tiba-tiba
ponselku bergetar kencang memecah hening, menghempasku keluar dalam lamunan,
aku berhenti termenung dan segera beranjak menuju ponselku, ternyata ada
panggilan, rupanya dari Diani, dengan rona bersemangat lalu segera kuangkat
panggilan darinya itu.
“Za!!
Aku ingin bertemu nanti malam! Sekalian kita bermalam Minggu ya.”
“Aku
juga, Kak. Baik nanti kita bertemu, kita bertemu di tempat biasa di Alun-Alun
ya.”
“Ok
my Bro, See you night. I can’t wait!”
“See
you night, Kak.”
Tuuut,
pertanda ia sudah mematikan telepon. Sejujurnya aku tak mengerti mengapa ia
sebersemangat itu, entahlah aku tak tahu pasti. Biarlah malam nanti akan jadi
malam yang indah untukku dan untuknya, aku sudah memiliki asa untuk membuatmu
sebahagia mungkin malam ini. Sebab, ini akan menjadi malam terakhir bagiku juga
bagimu, sebelum ku berangkat menuju Jakarta.
***
Aku tiba lebih dulu di Alun-Alun, sekitar pukul
18.40. Ada yang berbeda dari sosokmu, kau selalu menolak untukku kujemput, atau
kuantar pulang, jikapun pernah kau kuantar pulang itupun karena sudah terlalu
larut malam, dan itu hanya terjadi sekali meski sudah sekian lama aku
mengenalmu. Entah, alasanmu adalah kau ingin menjadi wanita mandiri, kau sangat
menjunjung tinggi arti dari emansipasi wanita, dan alasanmu juga yang menjadi
alasanku mengapa aku jatuh cinta; pada sosokmu.
Aku duduk sendiri di salah satu kedai Jus yang ada
di Alun-Alun Kota Serang, tak lupa sudah kupesan jus alpukat yang sudah menjadi
minuman kebiasaan kita berdua, malam ini sedikit berbeda, jika biasanya kau
hadir lebih dulu dan sudah lebih dulu memesankanku jus, kini aku hadir lebih
dulu. Sebab aku ingin malam ini menjadi lebih spesial, walaupun kutahu
setelahnya kau akan berjeri mendengar kepergianku.
Ia tiba, wanita cantik berjilbab apik itu mulai
berjalan dengan langkah cepat, mendekati arah dimana aku berduduk, seolah sudah
yakin dan tahu, ia melangkah tak ragu dan semakin mendekat, wajahnya begitu
riang, senyum sudah ia lontarkan sepanjang langkah ia berjalan, aura bahagia
begitu menelungkupnya, ada yang berbeda pada sosoknya malam ini, terlihat lebih
cantik, lebih riang dari biasanya. Entah, aku semakin terpana, bahkan setiap
langkahnya semakin membuat jantungku berdebar, tak sabar untuk segera
berbincang dengannya. Ia pun tiba, wanginya begitu semerbak menyerbu hidungku,
sungguh memesona kilau dan pancar sosoknya, beberapa pria mulai memandang ke
arahnya, termasuk aku yang terfokus akan senyumnya itu, segera kuberanjak
mempersilakannya duduk.
“Silahkan duduk, Nona.” Ujarku sembari menadahinya
bangku duduk.
Kau tersenyum bingung, mungkin kau merasa bingung
karena tak biasanya aku seramah ini.
“I saw
something changed here.” Katamu usai duduk dengan nada menyindir.
“Bersikap lebih ramah, apakah itu masalah?”
“Tidak juga, that’s
better.”
“Silakan diminum.” Ucapku seraya menjulurkan tangan
kearah jus.
“Terima kasih, kamu beda sekali malam ini, kenapa
seniat ini?” Tanyamu seraya meminum jus alpukat yang kutawarkan.
“Malam ini kamu keliatan lebih riang, auramu juga
beda, Kak, seperti sedang sangat berbahagia.” Kataku dengan mata menerka.
“Oh ya! Ada yang mau aku ceritakan!” Katamu dengan
tersentak, seraya melepaskan mulutmu dari sedotan yang semula menempel,
terlihat sedang kaget karena teringat akan sesuatu.
“Aku! Aku udah pacaran sama Vino, cowok yang sudah
aku ceritakan kemarin itu, lho.”
Ujarmu dengan wajah yang penuh riang.
Aku seketika terdiam, hatiku tercekak mendengarnya,
bicaranya yang sekejap seolah langsung menjatuhkanku, seketika wajahku geram
menatap kebawah tak karuan, entah, aku seperti tertusuk secara tiba-tiba. Sebab
yang kudengar terakhir darimu adalah kau tak ingin menerima siapapun dulu,
termasuk Vino. Namun, entahlah; mungkin ia begitu sempurna bagimu.
“Kemarin
dia menyatakan perasaannya, memang benar aku baru mengenalnya sebulan, tapi
dari apa yang kulihat dia baik, dia cocok denganku, sisi baiknya sekarang aku
tak perlu merepotkan kamu lagi, Za!” Ujarmu dengan rona yang kian bersemangat.
Aku hanya mengangguk sedikit demi sedikit
mendengarnya bicara, pikirku melayang entah kemana, terbawa suasana getir,
hatiku yang begitu tersayat tak jua dapat bicara, aku tak mengerti harus bicara
apa.
“Tadinya aku ingin mengajaknya kesini, untuk
memperkenalkannya padamu, tapi ia ada acara bersama keluarganya, jadi mungkin
aku bisa memperkenalkannya besok, Za, aku bahagia sekali, setelah sekian lama
berada dalam status lajang, akhirnya aku merasakan lagi suasana seperti ini.”
Aku lagi dan lagi hanya mengangguk-angguk sembari sesekali
menebar senyuman palsu, ia benar-benar tak sadar bahwa setiap kata-kata yang
terlontar dari mulutnya tadi terus menggores hatiku, sebisa mungkin aku tak
terlihat mencurigakan di hadapannya, sebisa mungkin luka ini kusembunyikan.
“Tapi, ia menyatakan perasaannya tanpa bunga mawar
yang selalu kudambakan, padahal kamu tahu sendiri aku belum pernah dapat itu
dari siapapun, mungkin siapapun yang akan memberinya nanti akan menjadi sangat
terkenang untukku ya, Za.’ Ujarmu sembari menatap keatas, seolah sedang
berkhayal.
Aku sedikit tersenyum mendengarnya, karena
kenang-kenangan yang kuberikan berisi mawar merah, bersyukurlah mimpiku untuk
menjadi pemberi mawar pertama baginya akan terwujud.
“Terima kasih ya, Za, selama ini kamu selalu ada, you’re my best of the best bestfriend in
this world.” Katamu, menatapku dalam penuh senyum ketulusan.
Melihat senyumnya membuat lamunanku terpecah, hatiku
mulai berbisik untuk tidak bersikap bodoh dengan menunjukkan rasa sedihku,
hatiku berbisik jika aku harus membuatnya sebahagia mungkin malam ini, hatiku
terus berbisik untuk tidak bersikap egois, ia terus memotivasi agar aku harus
tegar, dan tidak menjadikan malam terakhirku dengannya ini menjadi malam yang
galau kelabu.
“Senang juga bisa menjadi sahabatmu, Kak, senang
memiliki kakak sepertimu yang memberiku banyak pelajaran,” Jawabku tulus,
dengan penuh senyuman, aku tersenyum diatas tangisan yang menguar di hatiku.
“Oh ya, kamu bilang kamu ingin menceritakan sesuatu,
silahkan ceritakan, aku ingin mendengarnya.”
“Nanti aku pasti ceritakan, kok, Kak, malam ini aku ingin mengajakmu ke pasar malam, Kak, kita
main disana, bagaimana? Bosan, ‘kan jika hanya mengitari Alun-Alun ini terus,
lagipula kakak pernah bilang, belum pernah main di pasar malam.” Jawabku
panjang.
“Kamu kreatif sekali, aku siap mengikuti kamu malam ini.”
“Tempatnya agak jauh dari sini tapi, Let’s go!” Kataku dengan nada penuh
semangat.
“Let’s go!”
Katamu dengan rona ceria.
Aku berusaha dewasa dalam hal ini, sebisa mungkin
aku memotivasi diri agar tak terlena oleh pedihnya kejadian tadi, aku harus
berbesar jiwa, setidaknya prinsipku tak boleh kuubah, prinsip dimana aku selalu
berkata kebahagiaannya lah yang harus kuutamakan. Meski jeri di hati ini, namun
aku tak pantas jika harus merelakan malam ini begitu saja, sebab esok hari,
ataupun keesokan hari lagi aku takkan bertemu dengannya lagi, atau mungkin atas
pengakuan yang kubuat nantinya, kau justru akan sangat marah padaku, hingga
berakting untuk malam ini mungkin adalah pilihan terbaik.
Setiba di pasar malam, aku segera mengajakmu ke
banyak permainan yang ada disana kala itu, kau terlihat begitu tertawa lepas,
mungkin inilah kali pertama aku bisa benar-benar lepas tertawa berdua denganmu,
kau terlihat sangat berbahagia, ronamu begitu riang, lebih riang dari biasanya.
Akupun bahagia, begitu bahagia, walau kutahu----hatiku menangis. Mungkin ini
adalah kelebihan seorang lelaki, ia bisa benar-benar memendam hingga tak ada
satupun yang menggetahuinya, berbeda dengan wanita yang kadang masih bisa
diterka, ketika ia memendam.
Sekitar satu jam lebih kita puas bermain, kita
mampir di salah satu restoran sea food. Mengapa aku memilih sea food? Karena
kebetulan kita berdua sama-sama tidak menyukai makanan laut, entah karena hal
apa. Maksudku adalah kita akan belajar menikmati apa yang kita tidak ingini,
namun dengan kebersamaan tentunya. Pada akhirnya, kita harus bersusah payah
untuk memakannya, karena sejujurnya ini adalah kali pertama aku dengannya masuk
dan memesan makanan ke dalam restoran sea food. Dengan penuh canda tawa yang
meluap menyatu, kita sukses memakan beberapa menu yang kita pesan, saat itu
kita begitu lepas dan gembira, layaknya sepasang kekasih. Jika aku bisa,
rasanya aku ingin memperlambat detik-detik ini, untuk sekadar menikmati momen
ini bersamamu dalam waktu yang lebih, tahukah kau bahwa setiap momen bersamamu
selalu teringat, dan memberatkanku untuk melangkah pergi.
Setelahnya, aku mengajakmu ke tempat yang sungguh
kau impikan, aku mengajakmu ke bukit, dimana kau bisa dengan puas memandangi
bintang-bintang, aku masih mengingat betul apa mimpimu, kau ingin merasakan
indahnya melihat indahnya malam diatas ketinggian bukit, kau juga selalu
berkata jika cahaya bintang adalah segalanya bagimu, meski tak benar-benar
menerangi malammu, namun setidaknya bintang selalu berusaha mengeluarkan
sinarnya, menghias angkasa, yang awalnya gelap kelabu.
Kau terlihat sangat ceria, aku sungguh terharu
melihat rona wajahmu, aku seolah begitu berhasil malam ini, meski jeri ini
menelusupku, namun senyum bahagiamu seolah menutupinya, aku sampai tak ingat
akan pedih ini, yang kurasakan kini adalah bahagia, karena bahagiamu.
Aku berjalan mendekatimu yang sedang duduk menikmati
cahaya bintang, wajahmu tak hentinya memancar aura kegembiraan.
“Kak, aku ingin meminta sesuatu.” Ucapku seraya
duduk disampingmu.
Kau menengok sekejap, menatapku dengan dalam.
“Aku ingin memanggil namamu, untuk beberapa jam ini,
setidaknya, aku tak ingin memanggilmu dengan sebutan ‘Kak’ lagi.”
“Silakan, aku tak pernah mempermasalahkan itu
lagipula, memang ada apa?” Jawabmu dengan wajah heran.
“Tak ada apa-apa, aku hanya ingin memanggilmu
selayaknya pria biasa saja, sekarang.”
Kau hanya menatapiku dengan wajah heran.
“Aku ingin membacakanmu puisi, berjudul Bintang.”
“Serius? Boleh, aku ingin dengar.”
“Tolong mainkan lagu Semua Tentang Kita, setelah
musik menyala aku akan mulai membaca.” Kataku seraya beranjak berdiri.
“Siap, sekarang aku akan
menghayatinya.” Katamu setelah mencari lagu itu di ponselmu.
“Bintang…..
Selayaknya kau pandangi langit detik ini, tak terhitung ia diutus, namun tak
jua ia sanggup setara dengan sang surya.”
“Bintang,
yang tak pernah lelah menghias angkasa, meski nyatanya cahayanya tak begitu
terang.”
“Namun,
semangatnya tetap tak rapuh, sinarnya tak jua padam, tiada malam tak
berbintang.”
“Sebegitu
tuluskah kasihnya terhadap bumi? Sesampainya ia tak peduli betul, apakah ia
dipandang, atau tidak.”
“Tak
pernah bintang bertirak, atau berhenti bersinar, meski kadang ia tahu ia tak
dipandang.”
“Mungkin,
bintang yang mengajariku, tentang arti ketulusan.”
“Seperti
halnya cinta ini, yang mungkin tak terpandang dalam bagimu, namun tulusnya tak
jua padam.”
“Izinkanlah,
aku menjadi bintang itu, yang meski tak kau pandang, namun senantiasa hadir
dalam sekat kelabu hatimu, untuk sekadar menghias, meski tak benar-benar
menerangimu.”
Kau terlihat begitu menghayati,
uraian air mata mulai menyirat di wajahmu, matamu terlihat berkaca oleh
reruntuhan kata-kataku tadi, yang jatuh perlahan dengan penuh ketulusan, entah
aku tak tahu pasti apakah kau menyadari arti dari puisi sederhanaku itu,
harapku kau bisa mengerti jika itu adalah ungkapan isi hatiku.
“Bagus banget, Za, kamu harus jadi penyair,
kamu harus jadi penulis!”
“Oh ya? Terima kasih, apa kamu
mengerti makna dan artinya?”
“Aku mengerti, filosofi bintang dan
ketulusan, puisimu menjelaskan jika yang tulus adalah yang tetap berjuang,
tanpa pamrih dan tanpa mengharap imbalan.”
Sudah kuduga, kau tak juga mengerti,
seberat inikah tembok persahabatan? Sampai kata-kataku tak jua berhasil
menerobos tembok itu? Entahlah, aku berusaha menyabarkan diri, mungkin itu
jalan terbaik kini.
“Di, setelah ini kita kembali ke
Alun-Alun ya, ada yang ingin aku bicarakan.” Kataku dengan lembut.
“Ini sudah hampir jam 10 malam, kamu
yakin? Kalau cuma mau ngomong, kenapa tak disini saja?” Tanyamu heran.
“Aku ingin kita bicara disana Di,
aku mohon.”
“Baiklah..”
Suasanapun hening sejenak, kau hanya
mengetuk jemarimu diatas kakimu, seperti ada yang sedang kau lamuni.
“Za..” Panggilmu pelan.
Aku menengok sejenak, lalu menatap
dalam matamu.
“Terima kasih banyak untuk semua,
terutama malam ini, aku sangat terhibur.”
Aku hanya tersenyum sembari
mengangguk, pertanda aku aku mengiyakan ucapan terima kasihmu.
“Jujur, Za, aku belum pernah
memiliki sahabat sebaik dirimu.”
Suasana sunyi semakin membunyi
diantara kita, suasana semakin hening.
“Iya, Di, aku juga belum pernah
sedekat ini bersahabat dengan orang.” Kataku sembari memalingkan wajah
menatapmu.
Kau hanya tersenyum menyipu, menatap
kebawah, suasana menjadi semakin sepi.
“Oh ya, kita berangkat sekarang ke
Alun-Alun ya.” Hentakku, lalu beranjak berdiri.
“Wajahmu mengernyit, seperti wajah
menerka, entahlah kau sepertinya mencurigaiku.
“Kamu tidak sedang menyembunyikan
sesuatu ‘kan, Za?” Ucapmu setelah beranjak berdiri.
Aku termenung sejenak menatapmu,
menatap dalam ke penjuru matamu, lalu mulai membayangkan mengucap kata selamat
tinggal, seketika hatiku tersobek, membayangkan nanti air matamu akan
berlinang, karenaku.
“Ini sudah malam, sebaiknya kita
cepat.” Ujarku mengalihkan perhatiannya.
Segera kuderukan motorku, lalu kau
beranjak duduk dibelakangku, dengan wajah yang seperti sedang memikirkan
sesuatu, mungkin kau sudah mulai mencurigaiku.
***
24
Juni 2012, Alun-Alun Kota Serang
Tibalah
aku, di persinggahan terakhir, antara bidadariku ini, denganku. Mataku
menjelajah segala sisi tempat ini, dimana di dalamnya terdapat berjuta
kenangan, berjuta memori silam, sekejap hatiku terbengung, mengitari lagi
segala yang pernah terjadi, sesampainya ia mulai berharu biru, seketika mataku
seolah tak kuasa menatapmu, ia bertirak “Sanggupkah aku merindu senyuman ini,
kelak?”
Aku mengajakmu ke tempat yang
tentunya taka sing, tempat dimana segala kisah mulai dimulai, tempat dimana
kita pertama berbincang, dan berkenalan. Aku ingin, tempat yang penuh kenangan
ini akan menjadi tempat perpisahan kita juga, seperti halnya kisah lainnya,
kisahku denganmupun sama, sama-sama harus melinangkan air mata, di akhir
cerita.
“Di, kamu tahu mengapa aku
mengajakmu kesini?”
“Kalau tak salah, ini tempat dimana
kita pertama berkenalan, bukan?”
“Tepat, bagiku tempat ini sangat
berarti, selain karena ini tempat pertama kita berkenalan, tempat ini juga
tempat dimana kita sering bertemu berdua.” Ucapku dengan tersenyum kecil.
“Kamu kenapa tiba-tiba bicara
begitu?” Katamu seraya mengerutkan kening, wajah penasaran.
Aku menatapmu, lalu sekejap melepas
tatapku, dan mengambil sesuatu dari tasku.
“Aku punya sesuatu, kamu baca ya.”
Kataku, lalu memberimu selipat kertas.
“Hasil tulisan kamu? Puisi? Cerpen?
Atau Flash Fiction?” Jawabmu menerka,
sembari perlahan membuka kertas.
Aku tak menjawab, hanya memandangimu
yang perlahan mulai membaca isi kertas itu.
Wajahmu mulai merengut membaca
kertas itu, seperti mulai memahami isinya, dengan mata penuh keseriusan kau
terus membaca kata demi kata.
Perlahan kau menatapku dengan penuh
kebingungan, wajahmu mengernyit.
“Za, tolong jelaskan maksud surat
ini apa!” Ucapmu dengan nada menghentak.
“Aku diterima di Universitas
Indonesia, Di, mimpiku terwujud.” Jawabku, menatap wajahmu yang mulai geram.
“Aku bangga sama kamu! Kamu hebat!
Jadi kamu kesini mau ngasih aku kejutan, ‘kan? Iya ‘kan?” Jawabmu penuh riang.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum
palsu.
“Aku berangkat besok, Di, besok
pagi, mungkin aku hanya akan kesini sesekali, selebihnya aku akan tinggal
disana, mungkin ini malam perpisahan bagi kita.” Kataku dengan wajah yang mulai
memelas.
Kau mulai melinangkan air mata
sembari menggeleng.
“Tidak! Kamu bohong! Kamu jahat!”
Ucapmu dengan terisak penuh amarah.
“Maafkan aku, Di, tapi ini untuk
masa depanku kelak.” Kataku dengan lemah, tak kuasa melihat kucuran air matamu.
“Kenapa kamu bilang ini secara
mendadak? Kenapa tidak dari kemarin-kemarin?” Kau terus mengisakkan tangis yang
membuatku semakin tercampur dalam suasana haru biru.
“Aku tak siap, aku tak sanggup, jaga
diri baik-baik ya, Di, aku mencintaimu.” Kataku seraya menggenggam erat
tanganmu, dan tanpa sadar kata cinta itu terucap.
“Aku tak tahu harus bilang apa, Za,
kamu jahat.”
“Aku mau pulang, terima kasih untuk
semua.” Jawabmu seraya melangkah, melepas genggamanku.
Aku tak tinggal diam, segera kuambil
langkah seribu untuk mengejarmu.
“Di, tunggu! Dengarkan aku dulu, aku
mohon kali ini saja.” Ucapku sembari berusaha menghentikan langkahmu yang mulai
cepat, meski kau terus melangkah dengan tangis.
“Di! Aku mohon, dengar aku…” Aku
berhasil menggenggamu erat, langkahmupun terhenti.
“Aku, aku minta maaf jika ada yang
kusembunyikan selama ini, aku minta maaf jika aku bersikap bodoh, sekarang aku
tak peduli apakah kau akan marah padaku, atau membenciku setelah mendengarkan
perkataanku ini, aku mencintaimu, Di, aku mencintaimu lebih dari seorang
sahabat, ataupun kakak, aku tahu kamu kecewa mendengar ini, tapi aku hanya
ingin kamu tahu sebelum aku pergi, yang terpenting aku sudah jujur dan
mengatakannya sepenuh hati sekarang, aku harap kamu menerima dan memaafkanku…”
Ucapku panjang, dengan mata yang berkaca-kaca.
Kau hanya mengangguk dan terus
menangis, lalu melepas genggamanku, meninggalkanku dengan langkah cepat, air
matamu terus bertetesan, aku hanya bisa diam dan meratapinya, mataku mulai
berkaca, namun aku tak jua mampu meneteskan air mata, aku berusaha setegar
mungkin di depanmu.
Semua tak seperti yang kuduga, kau
begitu marah, mungkin setelah ini kau akan sangat membenciku, namun setidaknya
aku sudah menjadi lelaki pemberani yang sudah jujur terhadap hati dan perasaan.
Kini, kau melangkah jauh, meninggalkanku dalam sepi, tak sempat kuberi sedikit
kenang-kenangan ini, maka dengan sangat terpaksa aku harus mengantar ini
kerumahmu.
Malam itu juga segera kuantar
kenang-kenangan sederhana ini, dan ibumupun menanyakan mengapa kau menangis,
aku berusaha menjelaskan semua, dan ibumupun mengerti, ia hanya berkata
sebaiknya aku menjaga diriku baik-baik, dan mendoakanku agar sukses. Ia juga
berpesan agar tidak memutuskan tali silaturahmiku, dengannya. Meski tak pernah
menjemputnya, namun sesekali aku kadang bersilaturahmi ke rumahmu, karenanya
aku sudah mulai mengenal beberapa anggota keluargamu, terutama ibumu.
Selesai sudah, malam ini terasa
begitu mencekam, namun aku sudah memberatkan pada hatiku untuk siap menerima
segala kemungkinan, dan akhirnya kenyataan inipun sudah semestinya kuterima,
meski dengan penuh kepedihan. Aku hanya berharap, kelak tangan Tuhan akan
mempersatukan kita lagi, untuk kelak setidaknya bisa melihat senyummu lagi,
yang selalu kurindukan.
***
25 Juni 2012
Aku melangkah,
menaiki bus yang sudah menunggu. Tiba-tiba langkahku terhenti, kutatapi
sekeliling---kotaku. Menghitung menit, aku akan segera pergi dari kota ini,
untuk lalu merantau ke Ibukota, berat memang harus mengikhlaskan segala
kenangan yang ada, namun sudah kutetapkan langkahku, kuinsankan janji dalam
benakku, kelak akan kembali tidak dengan tangan hampa, tapi dengan sejuta
cerita kesuksesan.
Kawan,
teman, ibu, ayah, kerabat, para sahabat, dan……….. Kau. Kuharap, senantiasa
mendoakanku, dan biarkan langkah ini melaju tanpa ragu, mengejar mimpiku.Hatiku
terbelenggu lagi, mengingat kejadian semalam, mengingat aku sudah menangisi
seorang wanita------dirimu. Harapku, kau akan mengantarku ke terminal, namun
sosokmu tak jua memunculkan batang hidungnya, entah mengapa---mungkin karena
kau begitu marah dan membenciku.
Tak
kugubris semua, biarlah segalanya kurelakan, mungkin memang sudah jalannya
seperti ini, sudah takdirnya seperti ini. Jika memang kita ditakdirkan untuk
satu sekarang, mungkin Tuhan takkan menghendakiku untuk kuliah di Jakarta, dan
Tuhan juga takkan mempersatukanmu dengan kekasihmu yang baru; Vino. Mungkin,
cintaku padamu hanya sebatas angan, yang pernah tersirat, aku tak tahu pasti
apakah mampu untuk melupakanmu kelak, aku hanya percaya akan kekuatan hati dan
cinta sejati, jika kau memang untukku, kau pasti akan kembali, pada pelukku. Ya,
ini sudah kenyataan yang harus kuterima, tak ada yang perlu disesali, kini
hanya aku yang perlu melangkah pergi, meninggalkan segala memori, memulai
lembar baru.
Pelupuk mataku mulai basah, linangan
air mata tak bisa kuhentikan, aku tak kuasa menahan sedihnya, meninggalkan
semua, bus mulai berderu, melaju perlahan, sorak sorai kerabat bergeming dalam
telinga, sendu inipun semakin menjadi, meski sosok yang kunanti tak hadir untuk
mengucap kata perpisahan. Selamat tinggal, kota tercinta, aku melangkah,
melaju, mengejar anganku.
***
Wanita
itu begitu terlihat gundah, wajahnya gusar tak karuan, keningnya mengkerut
kesah, wajahnya begitu resah, linangan air mata terus berkucuran dari matanya,
bersama selembar surat yang ia genggam ia tak hentinya merintikkan air mata, ia
terus meratap sendu, kepedihan begitu tersirat dalam setiap rintikan air
matanya, seperti sedang menangisi sesuatu.
Lalu
ia beranjak mendengarkan rekaman suara yang bersiul lewat tape recorder itu, suara lelaki yang bersyair kian membuat isak
tangisnya membabi buta, wajahnya semakin menyendu saja, seolah begitu sakit hal
yang ia tangisi itu, ia terus menyerukan nama seorang lelaki, yang tak baginya,
ialah Reza, yang kini suaranya bahkan tak bisa lagi berbisik di telinganya,
yang kini raganya sudah melangkah menjauh, yang kini sudah tak gapai untuk ia
tatap lagi. Ia hanya menggenggam erat surat itu, sembari meratap dan terus
membaca kata demi kata dari surat itu.
Serang,
25 Juni 2012
Kepada
Bintangku, Diani
Assalamualaikum
Wr. Wb
Mungkin, ketika kau membaca surat ini,
kau sedang begitu membenciku, bahkan aku tak tahu pasti apakah kau membacanya
atau tidak. Tapi, sudahlah, sebab semua memang salahku.
Di, aku meminta maaf jika banyak hal
yang kupendam selama ini, sebab aku begitu menganggapmu berharga, hingga tak
kuasa bagiku untuk kehilangan sosokmu, termasuk soal rasa ini, bagiku rasaku
padaku ini adalah kadar tertulus dari sebuah cinta, karena rasa tulus itu hadir
mengalahkan rasa ingin memiliki.
Aku tahu, jika aku mengungkap ini,
mungkin saja kau akan begitu marah? Atau benci? Lalu persahabatan kita terhenti
begitu saja? Lalu, bagaimana aku bisa menjagamu jika aku sudah bukan sahabatmu?
Aku tahu, kau tak ingin menerimaku sebagai seorang kekasih, sebab kau sudah
terlalu menganggapku sebagai seorang sahabat bukan? Aku memilih memendam, demi
tetap bisa mencintamu dengan tulus, dan menjagamu dengan damai.
Meski sebatas angan, rasa ingin
memiliki itu ada, terkubur dalam, dalam relung hatiku. Terima kasih, sudah
memberiku kesempatan untuk merasakan cinta yang tulus, terima kasih juga telah
mengizinkanku untuk menjagamu selama ini. Segala kenangan, memori silam, dan
segala kebiasaan yang pernah kita lalui akan terus teringat, aku ingin kau
tidak benar-benar melupakanku, setidaknya hadirkan aku dalam ingatmu, sesekali.
Terima kasih untuk segalanya, Diani.
Kaulah bintangku, akulah bintangmu, yang meski tak kau pandang, namun
senantiasa hadir dalam setiap gelapmu.. Kini, bintangmu telah jatuh dari
langit, tak lagi menemani malammu, ia ingin mengejar mimpinya. Relakan aku, dan
segala kenangan kita, Di. Aku mencintaimu.
Bintangmu, Reza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar