Kamis, 16 Januari 2014

Cinta Dalam Angan


Cinta Dalam Angan
            Sosokmu hadir begitu saja, tanpa pernah terangan hadir dalam benakku, lewat perkenalan yang biasa saja, lalu kau goreskan getir cinta yang teramat luar biasa bagiku, hingga dalamnya aku terlarut, sesampainya lupa diri terhanyut dalam suasana, dan akhirnya tak sadar akan keadaaan yang menghadang, seketika tak terbantahkan; jika aku mencintaimu.
            Tidak, jika saja aku ingin jujur. Rasanya tak ingin rasa ini hadir menyelimuti hati ini, namun rasanya hatiku tak sanggup untuk menolak sosokmu, sebab tiada alasan untuk tidak menerimamu, benakku selalu berkata sosokmu begitu sempurna, lantas tak terpungkiri bagi hati ini jika saja mencintamu adalah pilihan hati ini.
            Bicara soal angan, mungkin itu adalah pengungkapan dari apa yang ku ingin, salahkah jika aku menginginkan sosokmu lebih dari ini? Entah, aku tak terlalu memberatkannya, sebab bagiku bisa melindungimu, di dekatmu, dan bisa terus bersamamu adalah segalanya, dan aku tak ingin kehilangan ini semua-----aku tak sanggup. Untuk alasan yang sama aku memilih memendam, lalu menjadikan rasa yang ada ini tetap terkubur dalam------menjadi angan. Aku memilih memendam, karena memendam adalah cara terbaikku untuk terus bisa bersamamu, walau bukan sebagai sosok satu cahaya, dalam ruang hatimu.

***
          “Kadang, momen berharga hanyalah sesederhana perkenalan singkat, atau senyum sesaat.”
            Semua berawal dari masa putih abu di sekolahku kala itu, saat itu adalah kali pertama aku melihatmu, kau sedang menjadi panitia dalam acara perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, yang dirayakan pada tanggal 17 Agustus, kala itu kau berjaga di bagian absensi penerimaan peserta lomba, pada saat itu aku ingin mengikuti salah satu lomba yang disediakan panitia. Ketika itu wajahmu biasa saja di hadapanku, namun anggapanku mulai berubah saat kita bercakap, rasanya saat itu aku mulai merasakan ada yang berbeda dari sosokmu.
            “Permisi, saya mau mendaftar lomba cerdas cermat, Kak.”Kataku menghampiri meja pendaftaran.
            “Baik, siapa namamu?Katamu dengan nada cuek.
            “Gilang, Kak, kelas X-IPA 1.” Jawabku.
            “Silakan diisi formulirnya, lomba dimulai besok, jangan terlambat ya.”
            “Iya, terima kasih ya, Kak.”Kataku seraya berjalan pergi.
            Kau hanya tersenyum ramah, senyuman pertamamu untukku, sungguh terpesona aku kala itu melihatmu, begitu indah senyummu, hingga melekat deras dalam ingatanku.
***
            “Sosok cinta, selalu datang dengan sendirinya, tak pernah kita duga, atau perkirakan.”
Aku duduk sendiri di salah satu bangku, di Alun-Alun Kota Serang, sembari menikmati hembusan angin senja yang bersepoi, dengan laptop yang kupangku, jemariku tak henti mengetikan kata demi kata, tulisan-tulisan yang terukir bebas sesuai ingin hatiku, suasana ramai di Alun-Alun ibukota Banten yang tak pernah sepi ini membuatku tak merasa sepi, walau hanya terduduk sendiri, sembari kupandangi para pasangan-pasangan yang duduk berdua, atau kutengoki pasangan yang sedang jogging bersama, seraya juga imajinasiku mengolah kata, yang kadang mengkhayalkan sosokku berada di posisi itu, duduk berdua bersama seorang wanita yang kucinta, atau jogging bersama dengan penuh tawa. Sesampainya, aku tersentak, melihat wanita yang seolah tak asing, menengok ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mencari sesuatu, seperti sedang kebingungan.Ia berjilbab apik, pakaiannya begitu berbeda, begitu cantik dan kupandangi banyak pria memandanginya, segera kuambil inisiatif untuk menghampirinya, sebelumnya ku masukkan laptopku ke dalam tas, lalu dengan berdebar kuhampiri wanita cantik itu.
            “Kak?”Sapaku dari belakang.
            Kau terlihat kaget, wajahmu tak karuan sebentar, seolah merasa asing.
            “Saya Gilang, Kak.”
            “Oh ya! Kamu Gilang! Maaf saya lupa.” Sahutmu sembari tertawa.
            “Sedang menunggu orang, Kak?Tanyaku.
            “Iya, tapi tadi dia sudah mengirim SMS, ia datang agak terlambat.”
            “Oh, baiklah bagaimana kalau saya temani saja?Kita jalan-jalan disini sebentar, sembari menunggu temanmu datang, Kak.”Tawarku panjang.
            “Ide bagus!”Jawabmu dengan senyum ceria.
            “Kak, pernah dengar pribahasa ‘tak kenal maka tak sayang’?”Ujarku dengan nada menyindir.
            Astaghfirullahaladzhim, maaf lagi-lagi saya lupa.Perkenalkan, Diani Ashinta kelas 12-IPA 5.”Ucapmu seraya mengulurkan tangan kananmu dengan senyum ramah.
            “Gilang Areza.” Balasku mengulurkan tangan, dengan sedikit malu-malu.
            Setelahnya kami berjalan berdua mengitari Alun-Alun Kota Serang, seraya berbagi banyak cerita dan pengalaman, ia adalah orang yang sangat bersahabat, caranya berbicara dan merespon setiap apa yang kukatakan membuatku terkesan, caranya menanggapi setiap cerita ataupun ucapanku selalu membuatku tertawa, kau begitu istimewa, Kak. Sekitar setengah jam sampai akhirnya kita duduk berdua di salah satu bangku panjang yang ada di Alun-Alun, kita kembali melanjutkan obrolan santai kita, ternyata kau begitu menyukai karya sastra, kau juga ternyata sering membaca novel ataupun cerita pendek, dan kau juga berkata kalau kau begitu menyukai tulisanku ketika aku menunjukkannya padamu. Entah, kau begitu membuatku terlarut dalam suasana ria, walau ini adalah pertemuan perdana kita, mungkin lebih tepatnya perbincangan pertama, tapi tak sedikitpun kita canggung, seolah seperti orang yang sudah saling mengenal. Sekitar satu jam, aku tak sadar terbawa suasana, kau membuatku terpadu dalam hangatnya melodi ria, sampai waktu terasa sangat cepat, detik waktu melangkah tanpa ragu, hingga tak terasa kita sudah cukup lama berbincang. Sampai akhirnya, temanmu datang menyapa, lalu kau beranjak pergi meninggalkanku, dengan salam senyum kau melambaikan tangan meninggalkanku.
            Entahlah, aku tak dapat bicara saat ini, terbuai oleh indahnya senyummu, terhempas terbang oleh sosokmu yang begitu memukau, kau begitu berbeda, kau begitu sempurna. Seolah bertemu dengan malaikat yang teramat indah, sebahagia itu aku kini, jika saja aku bisa mengungkap apa yang kurasa, mungkin yang kurasakan kini adalah “Cinta pada pandangan pertama”. Namun, tak terlalu kugubris, aku tak mungkin segegabah itu, sejujurnya aku tak pernah percaya cinta pada pandangan pertama, karena rasanya tak mungkin rasa sedalam cinta hadir sekejap, yang kupercaya adalah cinta akan hadir seiring waktu, proses, momen, serta perjuangan yang ada, selebihnya soal rasa yang hadir pada pandangan pertama, menurutku adalah awal dimana rasa itu tumbuh. Beruntunglah, aku sempat menanyakan akun Twitter-nya, hingga aku bisa tetap mengenalnya lebih jauh, dan lebih dekat.
***
            “Kadang, bagian paling menyakitkan dari berharap adalah menyadari, bahwa ada harapan yang tak mungkin terwujud, atau hanya menjadi angan belaka.”
            4 hari setelah mendapatkan akun Twitter-mu, segera ku follow akunmu, luar biasa, kau lagi-lagi memukauku dengan avatar Twittermu yang teramat cantik sederhana. Ya, itu yang kusuka darimu, kau cantik tidak dengan make up, kau cantik dengan senyummu, serta jilbabmu yang apik, tak hanya cantik, pun juga suci. Tanpa pikir panjang, tombol follow sudah ku-klik, lalu tak lupa kuminta followback darimu, sembari berharap media ini akan memperantaraiku untuk mengenalmu lebih jauh.
            Sejujurnya, salah satu alasanku meminta Twittermu, adalah aku ingin mengetahui apakah kau memiliki kekasih atau tidak, sebab aku tak berani dengan lancang menanyakan langsung hal itu padamu---di pertemuan kemarin.Tak terpampang jelas soal itu, tampaknya kau bukan orang yang terlalu terbuka di dunia maya, kujelajahi tweet-mu, kau hanya sesekali update, itupun tidak tentang kisah percintaanmu.Bukan karena aku begitu gegabah untuk segera mengetahui apakah kau memiliki kekasih atau tidak karena ingin segera mendekatimu, namun rasa penasaran ini hadir semata karena keingintahuanku.Entah, kurasa apapun yang kuterima nantinya, aku sudah seharusnya siap.
            Sehari setelahnya, kau rupanya sudah meng-followback akunku, aku tersenyum kala itu, tersenyum bahagia karena ini pertanda baik bagiku. Namun kenyataan pahit menimpaku, setelah kutelusuri dan telusuri, aku berhasil menemukan akun kekasihmu, terlihat jelas ia menuliskan namamu di biodata Twitternya, terlihat jelas ia begitu menyayangimu.Entah, seperti tersayat secara perlahan, sedikit ada rasa sakit menerimanya, walaupun sudah kutekankan pada hatiku untuk tidak bersikap seperti ini.Namun, ini kenyataan yang sudah harus kuterima.Tidak, kurasa ini tidak seharusnya menjadi masalah, bukankah kita masih bisa berteman?Aku terus mencecar hatiku agar tak terbelunggu bersama harapan, setidaknya sudah saatnya kita menjadi dewasa dengan menerima kenyataan bukan?
***
            “Cinta tak harus tentang memiliki, dalam kadar tertulusnya, cinta mampu membuat rasa ingin memiliki itu tertutup oleh keinginan membahagiakan tanpa pamrih, ketulusannya begitu halus, sehalus rasa ingin membahagiakan itu sendiri, meski tanpa memiliki.”
            Jika harus berkata pahit atau tidak, mungkin ini lebih dari pahit. Mencintai orang yang bahkan tak bisa kita selalu hadirkan dalam detik waktu, bahkan sungguh tak wajar jika dihadirkan dalam ingat, namun apalah daya ketika sosoknya begitu abadi menjamah hati ini, hatiku tak mampu berlari, atau melihat sosok lainnya, sebab ia telah tersekat pada satu nama, nama yang bahkan tak bisa kusebut dengan mesra, wajarkah? Tidak.Namun, bukankah cinta kadang membuat orang tak wajar? Rumit, jika harus mempermasalahkan itu
            Keberadaaan sosoknya mungkin begitu menjadi tembok, namun itu tidak bagiku, bagiku tembok sesungguhnya adalah sosokmu yang begitu sempurna, tak ada celah bagiku untuk mencari apa kekuranganmu, dan jikapun ada aku tak masalah. Sebab bagiku, kaulah yang paling sempurna. Meski tahu betul kau sudah dimiliki, namun hatiku tak takut, tak pantang menyerah, entah mengapa sepertinya ia tak ingin menghilangkan sosokmu. Bahkan, bunga tidurkupun adalah sosokmu yang senantiasa hadir, apakah itu semua pertanda?Atau hanya aku yang bodoh dengan jatuh terlalu dalam padamu?Atau hatiku yang sudah mulai buta?
            Semenjak hari itu, kau denganku menjadi sering bersama di beberapa kesempatan, tak jarang kau memintaku untuk menemanimu disekolah hanya untuk sekadar mencurahkan isi hatimu, tentang kekasihmu yang seringkali menyakitimu. Ada satu hal lagi yang kukagumi darimu, kau adalah seorang yang setia, rupanya hubunganmu dengan kekasihmu sudah menginjak waktu 2 tahun, meski dengan urai air mata yang berlimpah, kau tetap berteguh pada satu nama.
            Kini, aku sadar, peran apa yang harus kuambil, mungkin menjadi sahabatmu adalah pilihan terbaik. Karena dengan cara itu, aku tetap mampu menjaga, mencinta, dan tetap bisa berada di dekatmu, tanpa perlu mengungkap apa yang ada dalam benakku. Mungkin berat, harus bertingkah seperti itu, namun dengan ketulusan yang kupunya, aku bisa melakukannya. Aku tahu betul, kau tak sadar sedikitpun dengan apa yang sebenarnya kurasa ini. Setulus inilah aku, berperan sebagai sosok pahlawan dalam gelap, yang bahkan cahaya cintanya tak bisa kau lihat.
***
            “Mengucap cinta adalah mudah bagi setiap insan, tak ada yang sulit. Namun, pada akhirnya kita akan sadar, bahwa hati tak bisa dipaksa, logikapun akan mengerti tentang hati, dan siapa pemiliknya, pada akhirnya.”
            Aku denganmu mulai terbiasa bersama, melewati momen berdua, meski kadang sebisa mungkin aku harus pandai membatasi diri, berdrama sebagai seorang sahabat adalah hal yang tak mudah, sebab pada beberapa waktu aku harus melawan hati.Namun, andai kau tahu, setiap temu, canda, tawa, dan momen berdua denganmu, adalah masa dimana cinta di hati ini semakin mendalam, dan mendalam.Yang tak kumengerti adalah kau begitu menganggapku ada, padahal aku hanya seorang yang baru kau kenal, namun kau begitu memperhatikan sosokku, kau begitu menganggap sosokku ini ada, dan dihargai.Mengapa?Aku tak tahu pasti, mungkin saja karena kau memang orang yang baik, atau mungkin saja kau baik karena akupun baik padamu.Tidak, aku tidak tahu pasti.
            Aku mulai jengah akan sepiku, dan amarah kecemburuanku padamu dan kekasihmu, aku memutuskan untuk berpacaran dengan salah seorang temanku, yang sudah lama menyukaiku. Tidak, pada awalnya aku memang benar-benar mencintanya, ah mungkin lebih tepatnya menyukainya, dan pada akhirnya akupun sadar terhadap apa yang kurasa, meski menjalin hubungan dengannya, namun tetap saja hatiku terfokus pada satu nama----namamu. Berat, jika harus memaksakan hati, bersama dengan orang yang tidak kita sayang, sungguh lebih menyakitkan, dibanding menerima kenyataan untuk tidak bisa bersama dengan orang yang kita sayang.Mengapa?Kupahami, karena semua adalah tentang hati, dan juga cinta.
            Kaupun tahu akan hal itu, yang tidak kau tahu adalah aku tidak mencintainya. Yang kau tahu, aku begitu mencintainya, selayaknya kau mencintai kekasihmu.Lengkap sudah bukan aktingku sebagai seorang sahabat?Ya, benar.Namun, kala itu malam Minggu, saat kekasihku juga kekasihmu tak bisa hadir menemani karena ada kepentingan lain, waktu itu kau mengajakku bermain, di tempat kita pertama bertemu, Alun-Alun Kota Serang. Kita saling mencurahkan isi hati, berbagi soal kisah antara kekasihku juga kekasihmu, aku sudah tak bisa memendam lagi, akhirnya kuceritakan semua padamu, tentang perasaanku pada kekasihku yang menghilang, aku ingat betul apa yang kau katakan kala itu “Hati itu tak bisa dipaksakan, mulutmu bisa saja berkata mencintai orang yang berbeda, namun hatimu akan menjawab semua, pada akhirnya kita akan sadar, siapa pemilik hati ini,” Katamu dengan senyum yang serius, apa yang kau katakan seolah kau simpulkan dari apa yang pernah kau rasakan, begitu menyentuh jiwaku. Kau juga bercerita, bahwa kau sudah lelah akan hubunganmu, dan kau sudah benar-benar siap jika harus berpisah, entah aku harus berkata apa, ada rasa senang yang menggumpal tak terungkapkan. Tidak, aku tidak seharusnya senang diatas dukamu, lagipula ada atau tidak kekasihmu aku tetap akan memendam bukan?
            Setelahnya aku mulai sadar, karena ada ataupun tidak sosok kekasihmu, aku akan tetap memilih memendam. Alasanku, aku tak pantas untuk bersamamu. Bukan, bukan karena aku merendahkan diriku, hanya ini memang kenyataan yang ada, kau adalah wanita yang sangat baik, jauh denganku yang masih memiliki banyak sisi kekurangan, selain itu hanya menunggu beberapa bulan lagi kau akan segera lulus dan pergi kuliah, pantaskah seorang pelajar sepertiku ini memilikimu? Tidak, rasanya aku merasa tak sanggup. Lagipula, kau tak memiliki perasaan yang sama denganku bukan? Meskipun ku tahu betul, hati seseorang hanya seseorang tersebut yang menggetahui sepenuhnya.Lalu, aku hanya takut jika kelak aku jujur, kau tak menerimanya, berbalik marah, atau menjauh. Aku terlalu membutuhkanmu untuk melakukannya, karenannya memendam adalah pilihan yang cukup bijak untukku kini, meski sudah sepantasnya setiap cinta baiknya diungkapkan dan dikatakan, namun keadaan tidak mengindahkanku kini, mungkin nanti-----suatu saat, akan ada waktu yang sudah kunanti itu, untuk mengungkap, dan menyatakan tentang cinta yang mendalam ini. Bukan karena aku tidak memilih menjadi pria sejati yang pengecut untuk tidak mengatakan apa yang ada, namun kini aku memilih menjadi pria sejati yang merelakan kebahagiaannya, hatinya, dan dengan berbesar jiwa aku akan tetap menjagamu, dalam sosok cahaya, dalam sosok bintang, yang cahayanya tak nyata di matamu. Soal cinta yang tak terucapkan, aku sejujurnya mengungkapkan cintaku ini, lewat pengorbanan yang kulakukan, lewat perjuangan yang kuberikan. Tanpa peduli, kelak kau akan menjadi milikku atau tidak, aku siap akan setiap takdir yang akan ada di depan kelak, aku percaya akan takdir soal jodoh---jika jodoh pasti bertemu. Yang terpenting adalah, aku mengikuti apa yang ada dalam hatiku, dan betapapun rasa ingin memiliki ini hadir, tetap ketulusanku untuk menyimpanmu dalam mimpi adalah pilihanku, pilihan hatiku.
***
            “Dan ketulusan mampu mengubah rasa ingin memiliki, menjadi rasa ingin membahagiakan.”
            16 Juni 2010
            Kelulusan tiba, ada yang menyedihkan dibalik kelulusan untuk angkatan 2 tahun sebelumku, meskipun ini bukan perpisahan dan kelulusan bagiku, namun aku turut pedih merasakannya, mengapa?Sebab cintaku hadir disini, sebab terdapat sosok peri yang mampu mengajarkanku banyak soal arti ketulusan, bahkan memberiku arti soal cinta yang sesungguhnya. Dia akan pergi, mengejar mimpi, menggapai angannya. Tugasku kini, adalah merelakannya pergi, menghempaskan segala kenangan yang pernah hadir di gedung sekolahku ini, lalu membiarkanmu melangkah maju dengan senyuman, pertanda tak ada yang harus kau persedihkan disini.
            Tak lupa, aku menyiapkan kado perpisahan, berharap agar kau takkan melupa ada sesosok orang yang mencintamu tulus, meski yang kau tahu ia adalah sahabatmu. Harapku, kado perpisahan ini akan menjadi jembatan batin antara kau denganku, agar perpisahan ini tak benar-benar menjadi perpisahan selamanya.
            Tanpa kuduga, ketika aku memberikan kado ini kau juga sudah mempersiapkan kado balasan untukku, aku tercengang kala itu, tak menyangka dengan apa yang kau berikan, perpisahan ini menjadi sangat berarti, karena ternyata kau menganggapku ada, bahkan rautmu terlihat gusar saat bertatap denganku, seperti ada pedih yang kau pendam. Aku memintamu untuk foto berdua denganku, karena sebelumnya kita memang tak punya foto berdua, dan akhirnya kau mengabulkannya, aku berhasil foto berdua denganmu.Sungguh indah bukan?
            Petaka tiba, seminggu setelah kejadian foto dan pemberian kenang-kenangan itu, kekasihku Raina, memintaku untuk mengakhiri hubunganku dengannya, karena ia merasa bahwa aku menyukai Kak Diani, aku tercekak saat mendengarnya, tak bisa berbicara karena apa yang ia katakan memang benar adanya. Sudah kucoba untuk menjelaskan padanya, jika kami hanyalah sebatas sahabat, namun itu tak dapat melunturkan niat bulatnya untuk mengakhiri semua.Hingga aku benar-benar mengiyakan permintaannya.Hubungan kitapun berakhir, begitu saja.Ada rasa sedih yang mendalam, aku seolah sudah menjadi pria jahat yang menyakiti hati wanita, yang membohongi perasaan sendiri, aku berjanji pada diriku sendiri hal semacam ini takkan terulang. Harapku, Raina akan menemukan penggantiku, yang lebih baik dariku. Dengan berbesar hati aku merelakannya pergi, meski linangan air matanya membuatku pedih, betapa jahat diriku kini. Namun, aku siap menerima konsekuensinya, termasuk menerima balasan hal yang sama di kemudian hari.
            Tak hanya itu, di hari yang sama ternyata Diani juga mengakhiri hubungannya dengan  kekasihnya; Ardi, beralasan bahwa semua sudah jalan terbaik, berbeda denganku, bukan kekasihmu yang meminta mengakhiri, namun kaulah yang memintanya. Hanya saja kesamaannya adalah, kekasihmu sama-sama mengira jika kau menyukaiku. Ada sedikit perasaan bersalah bagiku, karena merasa telah merusak hubungan orang lain. Salahkah aku? Entah… Kau meyakinkanku jika ini tak hanya alasan mengapa hubungannya berakhir, masih ada banyak alasan, dan menurutnya ini tak disebabkan oleh kedekatan kita, selebihnya kau menjelaskan bahwa ini memang sudah keputusan dan jalan terbaik bagimu, juga baginya.Pada akhirnya, kau denganku sama-sama harus merelakan kekasih masing-masing.
***
            “Momen, peristiwa, dan kebiasaan bersama, adalah kenangan yang paling sulit dilupakan.”
            Kedekatanku denganmu ternyata terus terjalin, bahkan rasanya kita semakin dekat semenjak kau tak lagi hadir disekolah, beruntunglah kau memilih tempat kuliah yang tak jauh dari rumahmu, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Universitas besar yang berada di Ibukota Banten, Serang. Entah karena hal apa kita justru semakin dekat, mungkin karena sudah sama-sama tak punya kekasih hingga kita tak terlalu membatasi diri, dan lebih lepas. Tak pernah kuduga, kita sampai sedekat ini, selayaknya seorang kekasih.Meski keadaan begitu indah, namun tak jua kuungkap isi hatiku ini, sebab rasa tak pantas ini memang hadir menyelimuti. Aku memilih memantaskan sosokku untuk berdampingan dengan sosokmu dahulu, barulah aku akan mengungkap apa yang ada. Meski kelak kau akan direbut oleh pria lain, aku tak peduli, yang terpenting aku sudah memberanikan diri mengungkap.
            Anehnya, sudah sekitar satu tahun lebih kedekatan kita berlanjut, kau tak juga membuka hati untuk sosok lain, alasanmu adalah tak siap, takut jika sosok lain hanya akan merusak, entah mengapa kau selalu beralasan begitu meski pria lain silih berganti mendekatimu, kau tetap menolak dan menutup hati. Mungkin, begitu jera dirimu untuk menerima sosok lainnya.Entahlah----- aku tak tahu pasti.
            Aku masih ingat apa yang kau katakan jika bicara soal mencari sosok cinta, kau selalu berkata “Cinta sejati akan hadir dengan sendirinya, karena cinta sejati sudah dipersiapkan Tuhan, tugasku hanya menunggunya hadir, dan ketika aku merasakan sosoknya hadir, tugasku selanjutnya adalah menjaganya.” Kata-kata itu yang selalu meyakinkanku tentang apa itu cinta sejati.
            Sungguh, semakin banyak momen dan kebiasaan yang kita lakukan kini, dalam setiap momennya aku selalu merasa jatuh cinta untuk kesekian kalinya, tak pernah tersirat ada perasaan ragu bagiku pada dirimu, entah ini pertanda bahwa kau adalah cinta sejati itu, atau karena sosokmulah yang begitu sempurna bagiku.
***
            “Pada akhirnya yang paling menyakitkan dari pertemuan, adalah menyadari bahwa perpisahan sudah siap menanti.”
            Akhirnya tiba saatnya kelulusan bagiku, hari dimana masa depanku mulai sudah harus dipersiapkan.Syukurnya, nilaiku tinggi dan memuaskan, aku hanya perlu mengikuti SNMPTN dan melaju mencari tempat kuliah yang kuinginkan, hanya doa-doa kulantunkan berharap segala yang terbaik untuk masa depanku.
            Inginku, aku mengambil jurusan Sastra, namun kuketahui jika di Untirta tak ada fakultas sastra, artinya aku harus mengubur mimpi untuk satu kuliahan denganmu.Diluar dugaan, mimpiku terwujud, Aku diterima di Universitas Indonesia, Fakultas Sastra, luar biasa, mimpiku ini terwujud.Aku tak dapat mengekspresikan betapa bahagia diriku kala itu, walaupun segurat kesedihan membelunggu kala tahu jika harus berpisah dengan sosok cintaku disini.Apa ini? Kebahagiaan yang bercampur dengan kesedihan? Haruskah aku menangis?Atau tertawa?
            Aku tak langsung mengatakan ini padamu, aku menunggu pertemuan kita tiba, dan akan jujur mengatakannya, walau sebenarnya berat, namun ini demi masa depanku. Aku tak tahu apakah tanggapanku nanti, mungkinkah kau akan serela kala aku melepasmu dari sekolah? Aku berusaha memotivasi diri, kita harus rela, kadang dalam hidup sudah sepantasnya kita memilih apa yang terbaik bagi kita bukan?
***
            “Dalam perpisahan, selalu ada air mata, dan kadang menyakiti adalah pilihan agar setidaknya ia akan merelakan sosok kita, meski dalam kepedihan.”
Tak mungkin ada perpisahan yang tak mengurai air mata, namun kadang perpisahan adalah hal yang pasti terjadi, walau terjadi kadang di waktu yang tak pernah kita tahu. Seperti halnya aku, yang tak pernah tau mengapa perpisahan terjadi secepat ini, namun tak jua kusesali karena bagiku ini memang sudah jalannya, jalan untukmu juga untukku. Perpisahan raga tak mengartikan perpisahan jiwa bukan? Ya, karenanya aku masih percaya jika cintaku ini akan tetap kuat walau jarak menghadang kelak.
Hanya kenang-kenangan sederhana ini yang akan berbahasa untuk menyiratkan betapa besar cintaku, betapa tulus kasihku, padamu. Dan biarkan kenang-kenangan yang kubuat sendiri ini akan menjadi alasan mengapa kau tak melupaku, setidaknya aku hanya ingin kau kenang sesekali, meski sebagai seorang sahabat yang mendustai dirinya jika ia memiliki perasaan lebih.
Sebatas rekaman suara  yang berbentuk tape recorder disertai bunga mawar, akan mengarungi hatimu, akan membuatmu menjelajah segala kenangan yang pernah hadir terukir, dan akan mulai menggemingkan hatimu tentang seorang pria yang begitu tulus cintanya, padamu. Jika ada yang tak kuungkap secara langsung, mungkin hanya keadaan yang membuat semuanya tak terucap, termasuk tentang rasaku.
Sudah kuputuskan, untuk segera mengungkap semua, tentang perasaan yang sekian lama kupendam sendiri, aku tak peduli dengan apa respon yang akan kau beri nanti, setidaknya aku sudah memberanikan diri untuk jujur terhadap perasaan. Selebihnya, kau yang menentukan, meski harus berujung pada kecewamu kelak, aku sudah siap. Harapku, kau akan menerima, menerima pengungkapan ku ini, setidaknya aku akan melangkah dengan senyuman, karena tak ada lagi yang kupendam sebelum pergi.
Drrrrtt, tiba-tiba ponselku bergetar kencang memecah hening, menghempasku keluar dalam lamunan, aku berhenti termenung dan segera beranjak menuju ponselku, ternyata ada panggilan, rupanya dari Diani, dengan rona bersemangat lalu segera kuangkat panggilan darinya itu.
“Za!! Aku ingin bertemu nanti malam! Sekalian kita bermalam Minggu ya.”
“Aku juga, Kak. Baik nanti kita bertemu, kita bertemu di tempat biasa di Alun-Alun ya.”
“Ok my Bro, See you night. I can’t wait!”
“See you night, Kak.”
Tuuut, pertanda ia sudah mematikan telepon. Sejujurnya aku tak mengerti mengapa ia sebersemangat itu, entahlah aku tak tahu pasti. Biarlah malam nanti akan jadi malam yang indah untukku dan untuknya, aku sudah memiliki asa untuk membuatmu sebahagia mungkin malam ini. Sebab, ini akan menjadi malam terakhir bagiku juga bagimu, sebelum ku berangkat menuju Jakarta.
***
Aku tiba lebih dulu di Alun-Alun, sekitar pukul 18.40. Ada yang berbeda dari sosokmu, kau selalu menolak untukku kujemput, atau kuantar pulang, jikapun pernah kau kuantar pulang itupun karena sudah terlalu larut malam, dan itu hanya terjadi sekali meski sudah sekian lama aku mengenalmu. Entah, alasanmu adalah kau ingin menjadi wanita mandiri, kau sangat menjunjung tinggi arti dari emansipasi wanita, dan alasanmu juga yang menjadi alasanku mengapa aku jatuh cinta; pada sosokmu.
Aku duduk sendiri di salah satu kedai Jus yang ada di Alun-Alun Kota Serang, tak lupa sudah kupesan jus alpukat yang sudah menjadi minuman kebiasaan kita berdua, malam ini sedikit berbeda, jika biasanya kau hadir lebih dulu dan sudah lebih dulu memesankanku jus, kini aku hadir lebih dulu. Sebab aku ingin malam ini menjadi lebih spesial, walaupun kutahu setelahnya kau akan berjeri mendengar kepergianku.
Ia tiba, wanita cantik berjilbab apik itu mulai berjalan dengan langkah cepat, mendekati arah dimana aku berduduk, seolah sudah yakin dan tahu, ia melangkah tak ragu dan semakin mendekat, wajahnya begitu riang, senyum sudah ia lontarkan sepanjang langkah ia berjalan, aura bahagia begitu menelungkupnya, ada yang berbeda pada sosoknya malam ini, terlihat lebih cantik, lebih riang dari biasanya. Entah, aku semakin terpana, bahkan setiap langkahnya semakin membuat jantungku berdebar, tak sabar untuk segera berbincang dengannya. Ia pun tiba, wanginya begitu semerbak menyerbu hidungku, sungguh memesona kilau dan pancar sosoknya, beberapa pria mulai memandang ke arahnya, termasuk aku yang terfokus akan senyumnya itu, segera kuberanjak mempersilakannya duduk.
“Silahkan duduk, Nona.” Ujarku sembari menadahinya bangku duduk.
Kau tersenyum bingung, mungkin kau merasa bingung karena tak biasanya aku seramah ini.
I saw something changed here.” Katamu usai duduk dengan nada menyindir.
“Bersikap lebih ramah, apakah itu masalah?”
“Tidak juga, that’s better.”
“Silakan diminum.” Ucapku seraya menjulurkan tangan kearah jus.
“Terima kasih, kamu beda sekali malam ini, kenapa seniat ini?” Tanyamu seraya meminum jus alpukat yang kutawarkan.
“Malam ini kamu keliatan lebih riang, auramu juga beda, Kak, seperti sedang sangat berbahagia.” Kataku dengan mata menerka.
“Oh ya! Ada yang mau aku ceritakan!” Katamu dengan tersentak, seraya melepaskan mulutmu dari sedotan yang semula menempel, terlihat sedang kaget karena teringat akan sesuatu.
“Aku! Aku udah pacaran sama Vino, cowok yang sudah aku ceritakan kemarin itu, lho.” Ujarmu dengan wajah yang penuh riang.
Aku seketika terdiam, hatiku tercekak mendengarnya, bicaranya yang sekejap seolah langsung menjatuhkanku, seketika wajahku geram menatap kebawah tak karuan, entah, aku seperti tertusuk secara tiba-tiba. Sebab yang kudengar terakhir darimu adalah kau tak ingin menerima siapapun dulu, termasuk Vino. Namun, entahlah; mungkin ia begitu sempurna bagimu.
Kemarin dia menyatakan perasaannya, memang benar aku baru mengenalnya sebulan, tapi dari apa yang kulihat dia baik, dia cocok denganku, sisi baiknya sekarang aku tak perlu merepotkan kamu lagi, Za!” Ujarmu dengan rona yang kian bersemangat.
Aku hanya mengangguk sedikit demi sedikit mendengarnya bicara, pikirku melayang entah kemana, terbawa suasana getir, hatiku yang begitu tersayat tak jua dapat bicara, aku tak mengerti harus bicara apa.
“Tadinya aku ingin mengajaknya kesini, untuk memperkenalkannya padamu, tapi ia ada acara bersama keluarganya, jadi mungkin aku bisa memperkenalkannya besok, Za, aku bahagia sekali, setelah sekian lama berada dalam status lajang, akhirnya aku merasakan lagi suasana seperti ini.”
Aku lagi dan lagi hanya mengangguk-angguk sembari sesekali menebar senyuman palsu, ia benar-benar tak sadar bahwa setiap kata-kata yang terlontar dari mulutnya tadi terus menggores hatiku, sebisa mungkin aku tak terlihat mencurigakan di hadapannya, sebisa mungkin luka ini kusembunyikan.
“Tapi, ia menyatakan perasaannya tanpa bunga mawar yang selalu kudambakan, padahal kamu tahu sendiri aku belum pernah dapat itu dari siapapun, mungkin siapapun yang akan memberinya nanti akan menjadi sangat terkenang untukku ya, Za.’ Ujarmu sembari menatap keatas, seolah sedang berkhayal.
Aku sedikit tersenyum mendengarnya, karena kenang-kenangan yang kuberikan berisi mawar merah, bersyukurlah mimpiku untuk menjadi pemberi mawar pertama baginya akan terwujud.
“Terima kasih ya, Za, selama ini kamu selalu ada, you’re my best of the best bestfriend in this world.” Katamu, menatapku dalam penuh senyum ketulusan.
Melihat senyumnya membuat lamunanku terpecah, hatiku mulai berbisik untuk tidak bersikap bodoh dengan menunjukkan rasa sedihku, hatiku berbisik jika aku harus membuatnya sebahagia mungkin malam ini, hatiku terus berbisik untuk tidak bersikap egois, ia terus memotivasi agar aku harus tegar, dan tidak menjadikan malam terakhirku dengannya ini menjadi malam yang galau kelabu.
“Senang juga bisa menjadi sahabatmu, Kak, senang memiliki kakak sepertimu yang memberiku banyak pelajaran,” Jawabku tulus, dengan penuh senyuman, aku tersenyum diatas tangisan yang menguar di hatiku.
“Oh ya, kamu bilang kamu ingin menceritakan sesuatu, silahkan ceritakan, aku ingin mendengarnya.”
“Nanti aku pasti ceritakan, kok, Kak, malam ini aku ingin mengajakmu ke pasar malam, Kak, kita main disana, bagaimana? Bosan, ‘kan jika hanya mengitari Alun-Alun ini terus, lagipula kakak pernah bilang, belum pernah main di pasar malam.” Jawabku panjang.
“Kamu kreatif sekali, aku siap mengikuti kamu malam ini.”
“Tempatnya agak jauh dari sini tapi, Let’s go!” Kataku dengan nada penuh semangat.
Let’s go!” Katamu dengan rona ceria.
Aku berusaha dewasa dalam hal ini, sebisa mungkin aku memotivasi diri agar tak terlena oleh pedihnya kejadian tadi, aku harus berbesar jiwa, setidaknya prinsipku tak boleh kuubah, prinsip dimana aku selalu berkata kebahagiaannya lah yang harus kuutamakan. Meski jeri di hati ini, namun aku tak pantas jika harus merelakan malam ini begitu saja, sebab esok hari, ataupun keesokan hari lagi aku takkan bertemu dengannya lagi, atau mungkin atas pengakuan yang kubuat nantinya, kau justru akan sangat marah padaku, hingga berakting untuk malam ini mungkin adalah pilihan terbaik.
Setiba di pasar malam, aku segera mengajakmu ke banyak permainan yang ada disana kala itu, kau terlihat begitu tertawa lepas, mungkin inilah kali pertama aku bisa benar-benar lepas tertawa berdua denganmu, kau terlihat sangat berbahagia, ronamu begitu riang, lebih riang dari biasanya. Akupun bahagia, begitu bahagia, walau kutahu----hatiku menangis. Mungkin ini adalah kelebihan seorang lelaki, ia bisa benar-benar memendam hingga tak ada satupun yang menggetahuinya, berbeda dengan wanita yang kadang masih bisa diterka, ketika ia memendam.
Sekitar satu jam lebih kita puas bermain, kita mampir di salah satu restoran sea food. Mengapa aku memilih sea food? Karena kebetulan kita berdua sama-sama tidak menyukai makanan laut, entah karena hal apa. Maksudku adalah kita akan belajar menikmati apa yang kita tidak ingini, namun dengan kebersamaan tentunya. Pada akhirnya, kita harus bersusah payah untuk memakannya, karena sejujurnya ini adalah kali pertama aku dengannya masuk dan memesan makanan ke dalam restoran sea food. Dengan penuh canda tawa yang meluap menyatu, kita sukses memakan beberapa menu yang kita pesan, saat itu kita begitu lepas dan gembira, layaknya sepasang kekasih. Jika aku bisa, rasanya aku ingin memperlambat detik-detik ini, untuk sekadar menikmati momen ini bersamamu dalam waktu yang lebih, tahukah kau bahwa setiap momen bersamamu selalu teringat, dan memberatkanku untuk melangkah pergi.
Setelahnya, aku mengajakmu ke tempat yang sungguh kau impikan, aku mengajakmu ke bukit, dimana kau bisa dengan puas memandangi bintang-bintang, aku masih mengingat betul apa mimpimu, kau ingin merasakan indahnya melihat indahnya malam diatas ketinggian bukit, kau juga selalu berkata jika cahaya bintang adalah segalanya bagimu, meski tak benar-benar menerangi malammu, namun setidaknya bintang selalu berusaha mengeluarkan sinarnya, menghias angkasa, yang awalnya gelap kelabu.
Kau terlihat sangat ceria, aku sungguh terharu melihat rona wajahmu, aku seolah begitu berhasil malam ini, meski jeri ini menelusupku, namun senyum bahagiamu seolah menutupinya, aku sampai tak ingat akan pedih ini, yang kurasakan kini adalah bahagia, karena bahagiamu.
Aku berjalan mendekatimu yang sedang duduk menikmati cahaya bintang, wajahmu tak hentinya memancar aura kegembiraan.
“Kak, aku ingin meminta sesuatu.” Ucapku seraya duduk disampingmu.
Kau menengok sekejap, menatapku dengan dalam.
“Aku ingin memanggil namamu, untuk beberapa jam ini, setidaknya, aku tak ingin memanggilmu dengan sebutan ‘Kak’ lagi.”
“Silakan, aku tak pernah mempermasalahkan itu lagipula, memang ada apa?” Jawabmu dengan wajah heran.
“Tak ada apa-apa, aku hanya ingin memanggilmu selayaknya pria biasa saja, sekarang.”
Kau hanya menatapiku dengan wajah heran.
“Aku ingin membacakanmu puisi, berjudul Bintang.”
“Serius? Boleh, aku ingin dengar.”
“Tolong mainkan lagu Semua Tentang Kita, setelah musik menyala aku akan mulai membaca.” Kataku seraya beranjak berdiri.
            “Siap, sekarang aku akan menghayatinya.” Katamu setelah mencari lagu itu di ponselmu.
            Bintang….. Selayaknya kau pandangi langit detik ini, tak terhitung ia diutus, namun tak jua ia sanggup setara dengan sang surya.”
            “Bintang, yang tak pernah lelah menghias angkasa, meski nyatanya cahayanya tak begitu terang.”
            “Namun, semangatnya tetap tak rapuh, sinarnya tak jua padam, tiada malam tak berbintang.”
            “Sebegitu tuluskah kasihnya terhadap bumi? Sesampainya ia tak peduli betul, apakah ia dipandang, atau tidak.”
            “Tak pernah bintang bertirak, atau berhenti bersinar, meski kadang ia tahu ia tak dipandang.”
            “Mungkin, bintang yang mengajariku, tentang arti ketulusan.”
            “Seperti halnya cinta ini, yang mungkin tak terpandang dalam bagimu, namun tulusnya tak jua padam.”
            “Izinkanlah, aku menjadi bintang itu, yang meski tak kau pandang, namun senantiasa hadir dalam sekat kelabu hatimu, untuk sekadar menghias, meski tak benar-benar menerangimu.”
            Kau terlihat begitu menghayati, uraian air mata mulai menyirat di wajahmu, matamu terlihat berkaca oleh reruntuhan kata-kataku tadi, yang jatuh perlahan dengan penuh ketulusan, entah aku tak tahu pasti apakah kau menyadari arti dari puisi sederhanaku itu, harapku kau bisa mengerti jika itu adalah ungkapan isi hatiku.
            “Bagus banget, Za, kamu harus jadi penyair, kamu harus jadi penulis!”
            “Oh ya? Terima kasih, apa kamu mengerti makna dan artinya?”
            “Aku mengerti, filosofi bintang dan ketulusan, puisimu menjelaskan jika yang tulus adalah yang tetap berjuang, tanpa pamrih dan tanpa mengharap imbalan.”
            Sudah kuduga, kau tak juga mengerti, seberat inikah tembok persahabatan? Sampai kata-kataku tak jua berhasil menerobos tembok itu? Entahlah, aku berusaha menyabarkan diri, mungkin itu jalan terbaik kini.
            “Di, setelah ini kita kembali ke Alun-Alun ya, ada yang ingin aku bicarakan.” Kataku dengan lembut.
            “Ini sudah hampir jam 10 malam, kamu yakin? Kalau cuma mau ngomong, kenapa tak disini saja?” Tanyamu heran.
            “Aku ingin kita bicara disana Di, aku mohon.”
            “Baiklah..”
            Suasanapun hening sejenak, kau hanya mengetuk jemarimu diatas kakimu, seperti ada yang sedang kau lamuni.
            “Za..” Panggilmu pelan.
            Aku menengok sejenak, lalu menatap dalam matamu.
            “Terima kasih banyak untuk semua, terutama malam ini, aku sangat terhibur.”
            Aku hanya tersenyum sembari mengangguk, pertanda aku aku mengiyakan ucapan terima kasihmu.
            “Jujur, Za, aku belum pernah memiliki sahabat sebaik dirimu.”
            Suasana sunyi semakin membunyi diantara kita, suasana semakin hening.
            “Iya, Di, aku juga belum pernah sedekat ini bersahabat dengan orang.” Kataku sembari memalingkan wajah menatapmu.
            Kau hanya tersenyum menyipu, menatap kebawah, suasana menjadi semakin sepi.
            “Oh ya, kita berangkat sekarang ke Alun-Alun ya.” Hentakku, lalu beranjak berdiri.
            “Wajahmu mengernyit, seperti wajah menerka, entahlah kau sepertinya mencurigaiku.
            “Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu ‘kan, Za?” Ucapmu setelah beranjak berdiri.
            Aku termenung sejenak menatapmu, menatap dalam ke penjuru matamu, lalu mulai membayangkan mengucap kata selamat tinggal, seketika hatiku tersobek, membayangkan nanti air matamu akan berlinang, karenaku.
            “Ini sudah malam, sebaiknya kita cepat.” Ujarku mengalihkan perhatiannya.
            Segera kuderukan motorku, lalu kau beranjak duduk dibelakangku, dengan wajah yang seperti sedang memikirkan sesuatu, mungkin kau sudah mulai mencurigaiku.
            ***
            24 Juni 2012, Alun-Alun Kota Serang
            Tibalah aku, di persinggahan terakhir, antara bidadariku ini, denganku. Mataku menjelajah segala sisi tempat ini, dimana di dalamnya terdapat berjuta kenangan, berjuta memori silam, sekejap hatiku terbengung, mengitari lagi segala yang pernah terjadi, sesampainya ia mulai berharu biru, seketika mataku seolah tak kuasa menatapmu, ia bertirak “Sanggupkah aku merindu senyuman ini, kelak?”
            Aku mengajakmu ke tempat yang tentunya taka sing, tempat dimana segala kisah mulai dimulai, tempat dimana kita pertama berbincang, dan berkenalan. Aku ingin, tempat yang penuh kenangan ini akan menjadi tempat perpisahan kita juga, seperti halnya kisah lainnya, kisahku denganmupun sama, sama-sama harus melinangkan air mata, di akhir cerita.
            “Di, kamu tahu mengapa aku mengajakmu kesini?”
            “Kalau tak salah, ini tempat dimana kita pertama berkenalan, bukan?”
            “Tepat, bagiku tempat ini sangat berarti, selain karena ini tempat pertama kita berkenalan, tempat ini juga tempat dimana kita sering bertemu berdua.” Ucapku dengan tersenyum kecil.
            “Kamu kenapa tiba-tiba bicara begitu?” Katamu seraya mengerutkan kening, wajah penasaran.
            Aku menatapmu, lalu sekejap melepas tatapku, dan mengambil sesuatu dari tasku.
            “Aku punya sesuatu, kamu baca ya.” Kataku, lalu memberimu selipat kertas.
            “Hasil tulisan kamu? Puisi? Cerpen? Atau Flash Fiction?” Jawabmu menerka, sembari perlahan membuka kertas.
            Aku tak menjawab, hanya memandangimu yang perlahan mulai membaca isi kertas itu.
            Wajahmu mulai merengut membaca kertas itu, seperti mulai memahami isinya, dengan mata penuh keseriusan kau terus membaca kata demi kata.
            Perlahan kau menatapku dengan penuh kebingungan, wajahmu mengernyit.
            “Za, tolong jelaskan maksud surat ini apa!” Ucapmu dengan nada menghentak.
            “Aku diterima di Universitas Indonesia, Di, mimpiku terwujud.” Jawabku, menatap wajahmu yang mulai geram.
            “Aku bangga sama kamu! Kamu hebat! Jadi kamu kesini mau ngasih aku kejutan, ‘kan? Iya ‘kan?” Jawabmu penuh riang.
            Aku hanya mengangguk dan tersenyum palsu.
            “Aku berangkat besok, Di, besok pagi, mungkin aku hanya akan kesini sesekali, selebihnya aku akan tinggal disana, mungkin ini malam perpisahan bagi kita.” Kataku dengan wajah yang mulai memelas.
            Kau mulai melinangkan air mata sembari menggeleng.
            “Tidak! Kamu bohong! Kamu jahat!” Ucapmu dengan terisak penuh amarah.
            “Maafkan aku, Di, tapi ini untuk masa depanku kelak.” Kataku dengan lemah, tak kuasa melihat kucuran air matamu.
            “Kenapa kamu bilang ini secara mendadak? Kenapa tidak dari kemarin-kemarin?” Kau terus mengisakkan tangis yang membuatku semakin tercampur dalam suasana haru biru.
            “Aku tak siap, aku tak sanggup, jaga diri baik-baik ya, Di, aku mencintaimu.” Kataku seraya menggenggam erat tanganmu, dan tanpa sadar kata cinta itu terucap.
            “Aku tak tahu harus bilang apa, Za, kamu jahat.”
            “Aku mau pulang, terima kasih untuk semua.” Jawabmu seraya melangkah, melepas genggamanku.
            Aku tak tinggal diam, segera kuambil langkah seribu untuk mengejarmu.
            “Di, tunggu! Dengarkan aku dulu, aku mohon kali ini saja.” Ucapku sembari berusaha menghentikan langkahmu yang mulai cepat, meski kau terus melangkah dengan tangis.
            “Di! Aku mohon, dengar aku…” Aku berhasil menggenggamu erat, langkahmupun terhenti.
            “Aku, aku minta maaf jika ada yang kusembunyikan selama ini, aku minta maaf jika aku bersikap bodoh, sekarang aku tak peduli apakah kau akan marah padaku, atau membenciku setelah mendengarkan perkataanku ini, aku mencintaimu, Di, aku mencintaimu lebih dari seorang sahabat, ataupun kakak, aku tahu kamu kecewa mendengar ini, tapi aku hanya ingin kamu tahu sebelum aku pergi, yang terpenting aku sudah jujur dan mengatakannya sepenuh hati sekarang, aku harap kamu menerima dan memaafkanku…” Ucapku panjang, dengan mata yang berkaca-kaca.
            Kau hanya mengangguk dan terus menangis, lalu melepas genggamanku, meninggalkanku dengan langkah cepat, air matamu terus bertetesan, aku hanya bisa diam dan meratapinya, mataku mulai berkaca, namun aku tak jua mampu meneteskan air mata, aku berusaha setegar mungkin di depanmu.
            Semua tak seperti yang kuduga, kau begitu marah, mungkin setelah ini kau akan sangat membenciku, namun setidaknya aku sudah menjadi lelaki pemberani yang sudah jujur terhadap hati dan perasaan. Kini, kau melangkah jauh, meninggalkanku dalam sepi, tak sempat kuberi sedikit kenang-kenangan ini, maka dengan sangat terpaksa aku harus mengantar ini kerumahmu.
            Malam itu juga segera kuantar kenang-kenangan sederhana ini, dan ibumupun menanyakan mengapa kau menangis, aku berusaha menjelaskan semua, dan ibumupun mengerti, ia hanya berkata sebaiknya aku menjaga diriku baik-baik, dan mendoakanku agar sukses. Ia juga berpesan agar tidak memutuskan tali silaturahmiku, dengannya. Meski tak pernah menjemputnya, namun sesekali aku kadang bersilaturahmi ke rumahmu, karenanya aku sudah mulai mengenal beberapa anggota keluargamu, terutama ibumu.
            Selesai sudah, malam ini terasa begitu mencekam, namun aku sudah memberatkan pada hatiku untuk siap menerima segala kemungkinan, dan akhirnya kenyataan inipun sudah semestinya kuterima, meski dengan penuh kepedihan. Aku hanya berharap, kelak tangan Tuhan akan mempersatukan kita lagi, untuk kelak setidaknya bisa melihat senyummu lagi, yang selalu kurindukan.
***
            25 Juni 2012
            Aku melangkah, menaiki bus yang sudah menunggu. Tiba-tiba langkahku terhenti, kutatapi sekeliling---kotaku. Menghitung menit, aku akan segera pergi dari kota ini, untuk lalu merantau ke Ibukota, berat memang harus mengikhlaskan segala kenangan yang ada, namun sudah kutetapkan langkahku, kuinsankan janji dalam benakku, kelak akan kembali tidak dengan tangan hampa, tapi dengan sejuta cerita kesuksesan.
            Kawan, teman, ibu, ayah, kerabat, para sahabat, dan……….. Kau. Kuharap, senantiasa mendoakanku, dan biarkan langkah ini melaju tanpa ragu, mengejar mimpiku.Hatiku terbelenggu lagi, mengingat kejadian semalam, mengingat aku sudah menangisi seorang wanita------dirimu. Harapku, kau akan mengantarku ke terminal, namun sosokmu tak jua memunculkan batang hidungnya, entah mengapa---mungkin karena kau begitu marah dan membenciku.
            Tak kugubris semua, biarlah segalanya kurelakan, mungkin memang sudah jalannya seperti ini, sudah takdirnya seperti ini. Jika memang kita ditakdirkan untuk satu sekarang, mungkin Tuhan takkan menghendakiku untuk kuliah di Jakarta, dan Tuhan juga takkan mempersatukanmu dengan kekasihmu yang baru; Vino. Mungkin, cintaku padamu hanya sebatas angan, yang pernah tersirat, aku tak tahu pasti apakah mampu untuk melupakanmu kelak, aku hanya percaya akan kekuatan hati dan cinta sejati, jika kau memang untukku, kau pasti akan kembali, pada pelukku. Ya, ini sudah kenyataan yang harus kuterima, tak ada yang perlu disesali, kini hanya aku yang perlu melangkah pergi, meninggalkan segala memori, memulai lembar baru.
            Pelupuk mataku mulai basah, linangan air mata tak bisa kuhentikan, aku tak kuasa menahan sedihnya, meninggalkan semua, bus mulai berderu, melaju perlahan, sorak sorai kerabat bergeming dalam telinga, sendu inipun semakin menjadi, meski sosok yang kunanti tak hadir untuk mengucap kata perpisahan. Selamat tinggal, kota tercinta, aku melangkah, melaju, mengejar anganku.
***
            Wanita itu begitu terlihat gundah, wajahnya gusar tak karuan, keningnya mengkerut kesah, wajahnya begitu resah, linangan air mata terus berkucuran dari matanya, bersama selembar surat yang ia genggam ia tak hentinya merintikkan air mata, ia terus meratap sendu, kepedihan begitu tersirat dalam setiap rintikan air matanya, seperti sedang menangisi sesuatu.
            Lalu ia beranjak mendengarkan rekaman suara yang bersiul lewat tape recorder itu, suara lelaki yang bersyair kian membuat isak tangisnya membabi buta, wajahnya semakin menyendu saja, seolah begitu sakit hal yang ia tangisi itu, ia terus menyerukan nama seorang lelaki, yang tak baginya, ialah Reza, yang kini suaranya bahkan tak bisa lagi berbisik di telinganya, yang kini raganya sudah melangkah menjauh, yang kini sudah tak gapai untuk ia tatap lagi. Ia hanya menggenggam erat surat itu, sembari meratap dan terus membaca kata demi kata dari surat itu.



Serang, 25 Juni 2012
Kepada Bintangku, Diani
Assalamualaikum Wr. Wb
          Mungkin, ketika kau membaca surat ini, kau sedang begitu membenciku, bahkan aku tak tahu pasti apakah kau membacanya atau tidak. Tapi, sudahlah, sebab semua memang salahku.
          Di, aku meminta maaf jika banyak hal yang kupendam selama ini, sebab aku begitu menganggapmu berharga, hingga tak kuasa bagiku untuk kehilangan sosokmu, termasuk soal rasa ini, bagiku rasaku padaku ini adalah kadar tertulus dari sebuah cinta, karena rasa tulus itu hadir mengalahkan rasa ingin memiliki.
          Aku tahu, jika aku mengungkap ini, mungkin saja kau akan begitu marah? Atau benci? Lalu persahabatan kita terhenti begitu saja? Lalu, bagaimana aku bisa menjagamu jika aku sudah bukan sahabatmu? Aku tahu, kau tak ingin menerimaku sebagai seorang kekasih, sebab kau sudah terlalu menganggapku sebagai seorang sahabat bukan? Aku memilih memendam, demi tetap bisa mencintamu dengan tulus, dan menjagamu dengan damai.
          Meski sebatas angan, rasa ingin memiliki itu ada, terkubur dalam, dalam relung hatiku. Terima kasih, sudah memberiku kesempatan untuk merasakan cinta yang tulus, terima kasih juga telah mengizinkanku untuk menjagamu selama ini. Segala kenangan, memori silam, dan segala kebiasaan yang pernah kita lalui akan terus teringat, aku ingin kau tidak benar-benar melupakanku, setidaknya hadirkan aku dalam ingatmu, sesekali.
          Terima kasih untuk segalanya, Diani. Kaulah bintangku, akulah bintangmu, yang meski tak kau pandang, namun senantiasa hadir dalam setiap gelapmu.. Kini, bintangmu telah jatuh dari langit, tak lagi menemani malammu, ia ingin mengejar mimpinya. Relakan aku, dan segala kenangan kita, Di. Aku mencintaimu.
Bintangmu, Reza