Cinta Datang Terlambat
Tak
kumengerti mengapa begini, saat aku mulai bimbang akan perasaaan sendiri, tak
tahu pasti dimana kini hatiku bertinggal, seperti ada rindu yang terukir
perlahan, seiring rasa kehilangan yang menyendu. Seolah perasaan itu mampir
sejenak, entah hanya sekedar mengusik ataukah benar-benar menetap, dalam dilema
kucercah bait demi bait kata, hanya sekadar untuk mencari makna tentang
perasaan ini.
Kau
denganku, sepasang sahabat yang pada dasarnya tidak terpikirkan pada perasaan
cinta. Tidak terpikirkan, tapi tetap terasakan, karena hadirmu sudah menjadi
penyelaras hariku, tentu sekat-sekat hatiku akan mencarimu ketika hadirmu
tiada. Atas kebersamaan yang telah berlangsung begitu lama, begitu indah semua
jika terbayang, sayang kita terbentur oleh tembok persahabatan, yang membatasi
perasaanku, juga perasaanmu.
Apalah
daya, ketika perasaan mulai tak bisa dibohongi lagi, dan kita mulai menyadari
betapa pentingnya kebersamaan ini untuk terus dilalui, maka perlahan perasaan
itu mulai menyeruak, tak lagi bisa dipendam. Bahwa kita memang saling
membutuhkan, bahwa kita memang saling menyayangi, meski dalam tirai
persahabatan. Namun, keterlambatan hadirnya perasaan itu seakan menjadikan
kisah ini petaka, saat aku denganmu mulai saling meragu, sampai kita saling
meninggalkan sembari menyisakan serpihan-serpihan rindu, dan puing-puing rasa
kehilangan.
Meli
Nama
yang sudah tak lagi asing dalam ingatku, sebab beberapa momen pertama dalam
hidupku, kuarungi bersamanya. Tentang suka-duka kehidupanpun sudah terlewati
antara kita. Berada dalam satu kelas membuat persahabatan ini semakin lekat,
seakan detik-detik dalam hidupku bisa kulalui bebas bersamamu. Tidak, kami
tidak terpikir untuk memulai kisah cinta, lagi-lagi kami sebaik mungkin
berusaha membatasi diri akan adanya tirai persahabatan, dibalik perasaan yang
tersimpan dalam ini. Aku tak tau pasti, siapa yang mulai mengakui perasaan ini,
namun semua dimulai saat rasa rindu dan rasa kehilangan itu bercampur, seakan
menyadarkanku untuk kembali menyorot jendela masa lalu, tentang kebersamaan
kita.
Aku
punya kekasih, dan kaupun begitu. Sejak awal dipertemukan kita tak pernah
sekalipun mengalami masa dimana kita sama-sama dalam keadaan tidak memiliki
kekasih. Sehingga tak jua tersirat dalam benak antara kau ataupun diriku untuk
menguntai kasih, atau hal yang lebih dari ini. Ejek-mengejek pacarpun adalah
kebiasaan kami. Mungkin, disini mulai muncul antara kau denganku untuk
membatasi diri satu sama lain.
“Dan,
mau ngomong sesuatu, mau cerita..” Meli berucap pada Dani, seketika Dani yang
sedang bersua dengan teman-temannya menoleh, lalu mengikuti gerik wanita cantik
itu.
“Ada
apa? Mau cerita tentang pacar yang lagi-lagi nyakitin hati?” Dani berkata
dengan nada yang sinis.
“Bukan,
ini serius, Dan… “ Nada bicara Meli mulai terisak, air matapun mulai merintik
perlahan dari mata indahnya.
“Mel….
Maaf itu cuma bercanda, ada apa?” Kata Dani menatap dalam.
“Nggak
ada apa-apa, nikmatin aja jam-jam terakhir ini Dan, besok udah nggak ada cewek
bawel yang namanya Meli lagi.” Jawab Meli dengan senyuman palsunya.
“Hah,
maksudnya?” Sentak Dani dengan nada membentak, Meli tak kuasa menjawab, ia
hanya tersenyum palsu sembari mengusap-usap lumuran air mata yang bergelimang
di pipinya.
“Mel,
ada apa sebenernya? Jawab Mel…” Lontar Dani dengan nada serius.
“Gue,
gue.. Mulai minggu depan gue udah bukan sekolah disini lagi, Dan.” Jawabnya
dengan mata menatap ke bawah, dengan senyum yang terlihat tidak tulus.
“Bisa diperjelas?
Pindah sekolah maksudnya?” Tanya Dani.
“Iya,
Dan… Rencana yang awalnya gue kira bakal batal itu ternyata sekarang jadi..”
“Oh,
ya mau gimana lagi, mungkin ini yang terbaik, Mel..”
“Gue
kira setelah lo tau lo bakal sedih, ternyata enggak.” Bentak Meli dengan nada
keras.
“Bukan
gitu Mel…” Sanggah Dani.
“Udah
ya gue mau siapin barang-barang buat besok.” Ucap Meli sembari bergegas pergi.
“Tunggu!
Besok? Kenapa secepet itu? Katanya Minggu depan?” Cegah Dani menghentikan
langkah Meli.
“Sekolahnya
sih Minggu depan, tapi berangkatnya besok.” Jawab Meli dengan nada yang teramat
sinis, lalu kembali melanjutkan langkah dan bergegas pergi.
Dani
tak mencegah ataupun berkata, ia hanya terdiam seperti sedang membayangkan
sesuatu.
***
*Dani*
Hari
ini terasa begitu melelahkan untukku, berada disekolah hampir seharian dengan
aktivitas yang kian padat, hari ini aku mendapati informasi buruk, sahabatku
Meli besok akan berangkat menuju Jakarta, ibukota yang terkenal dengan hidup
kerasnya, rasanya hari ini benar-benar berbeda, tak ada si “bawel” yang
biasanya selalu bersamaku, menemaniku.
Ada
yang mengganjal, menggetahui dirinya pergi membuatku tak mengerti, ada segurat
perasaan, entah pedih karena akan kehilangan, ataukah hanya firasat buruk.
Terbayang olehku ketika hari-hari esok tiada lagi suaramu, yang selalu bergores
keras melintasi gendang telingaku, tak ada lagi ragamu yang biasanya selalu
hadir menemani, tak ada lagi tawa kita yang selama ini terukir bebas, tersirat
lepas, adakah semua itu akan terjadi kembali? Aku mulai bingung, rasanya ini
lebih berat daripada harus kehilangan kekasih, apakah perasaan ini? Ataukah
mungkin ini cinta?
Entahlah,
dilema kini melumutiku, sepertinya tak siap bagiku untuk kehilangan sosoknya.
Gelang yang kupakai ini semakin menyenduku, aku masih ingat ketika kau
memakaikan gelang ini bagiku sebagai tanda persahabatan, dan setelah hari itu
aku terus memakai gelang ini, Mel mengapa kau harus pergi?
*Meli*
Barang-barang
sudah siap, semua sudah siap, hanya saja sepertinya hati ini belum siap. Yang
terbayang sekarang adalah membayangi hari esok tiada lagi sosok Dani yang
biasanya selalu ada untukku, aku tak henti menggalaui hal ini, seperti halnya
mereka yang menggalaui kekasihnya. Namun, mendengar ucapan Dani yang seolah tak
kaget dan rela, membuatku sedikit lega, setidaknya aku tidak terlalu berat
untuk meninggalkannya.
Sejujurnya
ada perasaan yang sulit bisa kuucap, perasaan yang tak dapat kumengerti, tak
mampu kupahami, saat semua kenanganku bersama Dani begitu menghadangku untuk
pergi, hati seolah mencegah, raga seolah tak sanggup untuk melangkah,
sepertinya kepergianku ini tak direstui oleh hati.
Takut,
mungkin itu yang tergambar kini, namun kata “Takut” tadi hanya menyudut pada
satu nama ; Dani. Apakah aku takut kehilanganmu, Dan? Bukankah kita hanya
sahabat dan tak harus selalu bersama? Ataukah hati ini menganggapnya lebih?
Cinta kah? Tidak, aku tidak ingin mengakui apa nama perasaan ini, sebab hati
tak sanggup, sebab jiwa tak mampu. Aku hanya berharap, kelak di jauh sana ada
sosok-sosok lain yang mampu mengganti hadirmu, Dan.
***
Seminggu kemudian…
Dibalik
kepergiannya disana, aku masih saja merasa kehilangan, beberapa hari ini
kuhabiskan dengan penuh kegalauan, tiada sosok yang biasa ada, tiada lagi orang
yang selalu bisa menghadirkan tawa untukku, kepergianmu sungguh menyakitkan,
membuatku terpaku dalam guratan kesedihan, membuatku rapuh dalam jerat sendu,
lalu rindu semakin menikamku dalam jurang kepedihan, karena tanpa hadirmu.
Hanya
sesal, ketika kini nyatanya aku menyadari tentang perasaan ini, tentang cinta,
yang datang terlambat. Saat cinta datang disaat yang tidak tepat, lalu kemana
sajakah ini hati ini? Mengapa ia baru menyadari saat dirinya sudah pergi?
Betapa menyakitkan ketika kau tak lagi bisa kutemui, bahkan untuk sekedar
kupandang.
Rindu,
dan rasa kehilanganlah yang menyadarkanku, lewat rindu kau buat perasaan ini
begitu menggebu, lalu lewat rasa kehilangan kau buat diriku tersadar, bahwa
nyatanya sosokmu lah yang selama ini menjadi tambatan hati, mungkin memang ku
cinta, mungkin memang kusesali, pernah terhiraukan perasaan ini, padamu.
***
“Maaf, jika pesan singkat ini akan
sedikit mengganggumu, maaf jika beberapa bait kata ini akan sedikit mengusikmu,
aku hanya ingin berkata, bahwa aku sedang merindumu, aku merindu masa dimana
berbagi denganmu, rindu dimana masa saat candamu menghadirkan tawa untukku,
lalu rindu itu menyadarkanku betapa berat arti perpisahan ini, ragamu tak lagi
bisa kugapai, bahkan menatapmu saja sudah tak bisa. Satu harapku, semoga gelang
sederhana yang kuberi untukmu akan menyadarkanmu, dari jauh sini hadir sesosok
diriku, sesosok bodoh yang pernah mengabaikan perasaannya, lalu dalam sesal ia
menginginkanmu kembali, padanya. Sebut saja dia adalah aku, yang merasa pedih
tanpamu, yang merasa rapuh tanpamu. Karena bersamamu aku merasa utuh, tak lagi
separuh. Maafkan aku, permintaan terakhirku, kenanglah aku sesekali.” Pesan
singkat yang teramat panjang itu berlabuh di ponsel Meli, lalu kucuran air mata
mulai tercurah dari matanya, entah air mata haru, entah air mata kepedihan.
Meli
hanya terperanga, hari-harinya ia lalui tiada semangat, hanya karena satu nama
yang selalu ada untuknya dulu, ia tak mampu bicara, ia tak mampu bertindak,
ketika ia menggetahui bahwa ternyata Dani memiliki perasaan yang sama
dengannya, sesal begitu bergelut dalam jiwanya, betapapun ia menangisi, tetap
saja keadaan takkan berubah, mungkin mengajari hati untuk rela adalah pilihan
terbaik untuknya.
***
Di
bawah pohon terlihat pria berkemeja hitam sedang terbengung bisu, seperti
sedang membayangkan sesuatu, dengan raut wajah yang begitu gusar.
“Lain
kali kalo punya perasaaan bilang, jangan mendem, jangan gengsi, apalagi sampe
nggak sadar, penyesalan selalu ada di belakang.” Suara wanita yang terdengar
lembut itu memecah suasana hening, lelaki itu pun menengok lalu terjengah
melihati sosok wanita itu.
“Kenapa?
Kaget? Atau seneng?” ucap Meli dengan senyum gembira/
Dani
tak lantas berbicara, ia langsung berlari dan memeluk Meli, seperti
melampiaskan rindu yang kian dalam.
“Jangan
tinggalin aku lagi, aku cinta kamu, bukan sebagai sahabat, bukan.. Tapi sebagai
kamu seutuhnya, seorang wanita.” Kata Dani seraya melepas peluknya lalu menatap
Meli dengan penuh kasih sayang.
“Percuma
kalau aku disana, nggak ada gairah, bakal ngerasa tetep sepi, aku butuh kamu,
Dan…”
“Aku
janji, akan terus ada untuk kamu, menyayangimu seutuhnya, dengar aku, sekarang,
besok, kemarin, atau beberapa tahun lagi, aku pengen ngelewatin semua bareng
kamu, aku mohon, janji sama aku kamu tetep disini.”
“Aku
janji..” Kata Meli dengan penuh senyuman.
“Aku
mau pensiun jadi sahabat kamu, sekarang aku mau jadi pacar kamu.”
Meli
hanya tersipu malu mendengar ucapan Dani, lalu ia mengangguk pertanda
mengiyakan ucapan Dani.
“Cie
cinta datang terlambat nih, cie sekarang pacaran nih.. Hahaha” Giur Dani
menghidupkan suasana.
“Apasih
kamu, kan kamu yang pengen…”
“Oh
jadi kamu nggak pengen?”
“Lebih
pengen sih… Hahaha” Lalu mereka berdua tertawa gembira, menutup semua kisah,
dengan akhirnya menggembirakan, pada akhirnya kita mengerti betapa pentingnya
untuk mengerti dan menyadari tentang perasaan, sebab cinta sejati tak akan
datang untuk kedua kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar