Senin, 21 Oktober 2013
Minggu, 06 Oktober 2013
Cinta Datang Terlambat
Cinta Datang Terlambat
Tak
kumengerti mengapa begini, saat aku mulai bimbang akan perasaaan sendiri, tak
tahu pasti dimana kini hatiku bertinggal, seperti ada rindu yang terukir
perlahan, seiring rasa kehilangan yang menyendu. Seolah perasaan itu mampir
sejenak, entah hanya sekedar mengusik ataukah benar-benar menetap, dalam dilema
kucercah bait demi bait kata, hanya sekadar untuk mencari makna tentang
perasaan ini.
Kau
denganku, sepasang sahabat yang pada dasarnya tidak terpikirkan pada perasaan
cinta. Tidak terpikirkan, tapi tetap terasakan, karena hadirmu sudah menjadi
penyelaras hariku, tentu sekat-sekat hatiku akan mencarimu ketika hadirmu
tiada. Atas kebersamaan yang telah berlangsung begitu lama, begitu indah semua
jika terbayang, sayang kita terbentur oleh tembok persahabatan, yang membatasi
perasaanku, juga perasaanmu.
Apalah
daya, ketika perasaan mulai tak bisa dibohongi lagi, dan kita mulai menyadari
betapa pentingnya kebersamaan ini untuk terus dilalui, maka perlahan perasaan
itu mulai menyeruak, tak lagi bisa dipendam. Bahwa kita memang saling
membutuhkan, bahwa kita memang saling menyayangi, meski dalam tirai
persahabatan. Namun, keterlambatan hadirnya perasaan itu seakan menjadikan
kisah ini petaka, saat aku denganmu mulai saling meragu, sampai kita saling
meninggalkan sembari menyisakan serpihan-serpihan rindu, dan puing-puing rasa
kehilangan.
Meli
Nama
yang sudah tak lagi asing dalam ingatku, sebab beberapa momen pertama dalam
hidupku, kuarungi bersamanya. Tentang suka-duka kehidupanpun sudah terlewati
antara kita. Berada dalam satu kelas membuat persahabatan ini semakin lekat,
seakan detik-detik dalam hidupku bisa kulalui bebas bersamamu. Tidak, kami
tidak terpikir untuk memulai kisah cinta, lagi-lagi kami sebaik mungkin
berusaha membatasi diri akan adanya tirai persahabatan, dibalik perasaan yang
tersimpan dalam ini. Aku tak tau pasti, siapa yang mulai mengakui perasaan ini,
namun semua dimulai saat rasa rindu dan rasa kehilangan itu bercampur, seakan
menyadarkanku untuk kembali menyorot jendela masa lalu, tentang kebersamaan
kita.
Aku
punya kekasih, dan kaupun begitu. Sejak awal dipertemukan kita tak pernah
sekalipun mengalami masa dimana kita sama-sama dalam keadaan tidak memiliki
kekasih. Sehingga tak jua tersirat dalam benak antara kau ataupun diriku untuk
menguntai kasih, atau hal yang lebih dari ini. Ejek-mengejek pacarpun adalah
kebiasaan kami. Mungkin, disini mulai muncul antara kau denganku untuk
membatasi diri satu sama lain.
“Dan,
mau ngomong sesuatu, mau cerita..” Meli berucap pada Dani, seketika Dani yang
sedang bersua dengan teman-temannya menoleh, lalu mengikuti gerik wanita cantik
itu.
“Ada
apa? Mau cerita tentang pacar yang lagi-lagi nyakitin hati?” Dani berkata
dengan nada yang sinis.
“Bukan,
ini serius, Dan… “ Nada bicara Meli mulai terisak, air matapun mulai merintik
perlahan dari mata indahnya.
“Mel….
Maaf itu cuma bercanda, ada apa?” Kata Dani menatap dalam.
“Nggak
ada apa-apa, nikmatin aja jam-jam terakhir ini Dan, besok udah nggak ada cewek
bawel yang namanya Meli lagi.” Jawab Meli dengan senyuman palsunya.
“Hah,
maksudnya?” Sentak Dani dengan nada membentak, Meli tak kuasa menjawab, ia
hanya tersenyum palsu sembari mengusap-usap lumuran air mata yang bergelimang
di pipinya.
“Mel,
ada apa sebenernya? Jawab Mel…” Lontar Dani dengan nada serius.
“Gue,
gue.. Mulai minggu depan gue udah bukan sekolah disini lagi, Dan.” Jawabnya
dengan mata menatap ke bawah, dengan senyum yang terlihat tidak tulus.
“Bisa diperjelas?
Pindah sekolah maksudnya?” Tanya Dani.
“Iya,
Dan… Rencana yang awalnya gue kira bakal batal itu ternyata sekarang jadi..”
“Oh,
ya mau gimana lagi, mungkin ini yang terbaik, Mel..”
“Gue
kira setelah lo tau lo bakal sedih, ternyata enggak.” Bentak Meli dengan nada
keras.
“Bukan
gitu Mel…” Sanggah Dani.
“Udah
ya gue mau siapin barang-barang buat besok.” Ucap Meli sembari bergegas pergi.
“Tunggu!
Besok? Kenapa secepet itu? Katanya Minggu depan?” Cegah Dani menghentikan
langkah Meli.
“Sekolahnya
sih Minggu depan, tapi berangkatnya besok.” Jawab Meli dengan nada yang teramat
sinis, lalu kembali melanjutkan langkah dan bergegas pergi.
Dani
tak mencegah ataupun berkata, ia hanya terdiam seperti sedang membayangkan
sesuatu.
***
*Dani*
Hari
ini terasa begitu melelahkan untukku, berada disekolah hampir seharian dengan
aktivitas yang kian padat, hari ini aku mendapati informasi buruk, sahabatku
Meli besok akan berangkat menuju Jakarta, ibukota yang terkenal dengan hidup
kerasnya, rasanya hari ini benar-benar berbeda, tak ada si “bawel” yang
biasanya selalu bersamaku, menemaniku.
Ada
yang mengganjal, menggetahui dirinya pergi membuatku tak mengerti, ada segurat
perasaan, entah pedih karena akan kehilangan, ataukah hanya firasat buruk.
Terbayang olehku ketika hari-hari esok tiada lagi suaramu, yang selalu bergores
keras melintasi gendang telingaku, tak ada lagi ragamu yang biasanya selalu
hadir menemani, tak ada lagi tawa kita yang selama ini terukir bebas, tersirat
lepas, adakah semua itu akan terjadi kembali? Aku mulai bingung, rasanya ini
lebih berat daripada harus kehilangan kekasih, apakah perasaan ini? Ataukah
mungkin ini cinta?
Entahlah,
dilema kini melumutiku, sepertinya tak siap bagiku untuk kehilangan sosoknya.
Gelang yang kupakai ini semakin menyenduku, aku masih ingat ketika kau
memakaikan gelang ini bagiku sebagai tanda persahabatan, dan setelah hari itu
aku terus memakai gelang ini, Mel mengapa kau harus pergi?
*Meli*
Barang-barang
sudah siap, semua sudah siap, hanya saja sepertinya hati ini belum siap. Yang
terbayang sekarang adalah membayangi hari esok tiada lagi sosok Dani yang
biasanya selalu ada untukku, aku tak henti menggalaui hal ini, seperti halnya
mereka yang menggalaui kekasihnya. Namun, mendengar ucapan Dani yang seolah tak
kaget dan rela, membuatku sedikit lega, setidaknya aku tidak terlalu berat
untuk meninggalkannya.
Sejujurnya
ada perasaan yang sulit bisa kuucap, perasaan yang tak dapat kumengerti, tak
mampu kupahami, saat semua kenanganku bersama Dani begitu menghadangku untuk
pergi, hati seolah mencegah, raga seolah tak sanggup untuk melangkah,
sepertinya kepergianku ini tak direstui oleh hati.
Takut,
mungkin itu yang tergambar kini, namun kata “Takut” tadi hanya menyudut pada
satu nama ; Dani. Apakah aku takut kehilanganmu, Dan? Bukankah kita hanya
sahabat dan tak harus selalu bersama? Ataukah hati ini menganggapnya lebih?
Cinta kah? Tidak, aku tidak ingin mengakui apa nama perasaan ini, sebab hati
tak sanggup, sebab jiwa tak mampu. Aku hanya berharap, kelak di jauh sana ada
sosok-sosok lain yang mampu mengganti hadirmu, Dan.
***
Seminggu kemudian…
Dibalik
kepergiannya disana, aku masih saja merasa kehilangan, beberapa hari ini
kuhabiskan dengan penuh kegalauan, tiada sosok yang biasa ada, tiada lagi orang
yang selalu bisa menghadirkan tawa untukku, kepergianmu sungguh menyakitkan,
membuatku terpaku dalam guratan kesedihan, membuatku rapuh dalam jerat sendu,
lalu rindu semakin menikamku dalam jurang kepedihan, karena tanpa hadirmu.
Hanya
sesal, ketika kini nyatanya aku menyadari tentang perasaan ini, tentang cinta,
yang datang terlambat. Saat cinta datang disaat yang tidak tepat, lalu kemana
sajakah ini hati ini? Mengapa ia baru menyadari saat dirinya sudah pergi?
Betapa menyakitkan ketika kau tak lagi bisa kutemui, bahkan untuk sekedar
kupandang.
Rindu,
dan rasa kehilanganlah yang menyadarkanku, lewat rindu kau buat perasaan ini
begitu menggebu, lalu lewat rasa kehilangan kau buat diriku tersadar, bahwa
nyatanya sosokmu lah yang selama ini menjadi tambatan hati, mungkin memang ku
cinta, mungkin memang kusesali, pernah terhiraukan perasaan ini, padamu.
***
“Maaf, jika pesan singkat ini akan
sedikit mengganggumu, maaf jika beberapa bait kata ini akan sedikit mengusikmu,
aku hanya ingin berkata, bahwa aku sedang merindumu, aku merindu masa dimana
berbagi denganmu, rindu dimana masa saat candamu menghadirkan tawa untukku,
lalu rindu itu menyadarkanku betapa berat arti perpisahan ini, ragamu tak lagi
bisa kugapai, bahkan menatapmu saja sudah tak bisa. Satu harapku, semoga gelang
sederhana yang kuberi untukmu akan menyadarkanmu, dari jauh sini hadir sesosok
diriku, sesosok bodoh yang pernah mengabaikan perasaannya, lalu dalam sesal ia
menginginkanmu kembali, padanya. Sebut saja dia adalah aku, yang merasa pedih
tanpamu, yang merasa rapuh tanpamu. Karena bersamamu aku merasa utuh, tak lagi
separuh. Maafkan aku, permintaan terakhirku, kenanglah aku sesekali.” Pesan
singkat yang teramat panjang itu berlabuh di ponsel Meli, lalu kucuran air mata
mulai tercurah dari matanya, entah air mata haru, entah air mata kepedihan.
Meli
hanya terperanga, hari-harinya ia lalui tiada semangat, hanya karena satu nama
yang selalu ada untuknya dulu, ia tak mampu bicara, ia tak mampu bertindak,
ketika ia menggetahui bahwa ternyata Dani memiliki perasaan yang sama
dengannya, sesal begitu bergelut dalam jiwanya, betapapun ia menangisi, tetap
saja keadaan takkan berubah, mungkin mengajari hati untuk rela adalah pilihan
terbaik untuknya.
***
Di
bawah pohon terlihat pria berkemeja hitam sedang terbengung bisu, seperti
sedang membayangkan sesuatu, dengan raut wajah yang begitu gusar.
“Lain
kali kalo punya perasaaan bilang, jangan mendem, jangan gengsi, apalagi sampe
nggak sadar, penyesalan selalu ada di belakang.” Suara wanita yang terdengar
lembut itu memecah suasana hening, lelaki itu pun menengok lalu terjengah
melihati sosok wanita itu.
“Kenapa?
Kaget? Atau seneng?” ucap Meli dengan senyum gembira/
Dani
tak lantas berbicara, ia langsung berlari dan memeluk Meli, seperti
melampiaskan rindu yang kian dalam.
“Jangan
tinggalin aku lagi, aku cinta kamu, bukan sebagai sahabat, bukan.. Tapi sebagai
kamu seutuhnya, seorang wanita.” Kata Dani seraya melepas peluknya lalu menatap
Meli dengan penuh kasih sayang.
“Percuma
kalau aku disana, nggak ada gairah, bakal ngerasa tetep sepi, aku butuh kamu,
Dan…”
“Aku
janji, akan terus ada untuk kamu, menyayangimu seutuhnya, dengar aku, sekarang,
besok, kemarin, atau beberapa tahun lagi, aku pengen ngelewatin semua bareng
kamu, aku mohon, janji sama aku kamu tetep disini.”
“Aku
janji..” Kata Meli dengan penuh senyuman.
“Aku
mau pensiun jadi sahabat kamu, sekarang aku mau jadi pacar kamu.”
Meli
hanya tersipu malu mendengar ucapan Dani, lalu ia mengangguk pertanda
mengiyakan ucapan Dani.
“Cie
cinta datang terlambat nih, cie sekarang pacaran nih.. Hahaha” Giur Dani
menghidupkan suasana.
“Apasih
kamu, kan kamu yang pengen…”
“Oh
jadi kamu nggak pengen?”
“Lebih
pengen sih… Hahaha” Lalu mereka berdua tertawa gembira, menutup semua kisah,
dengan akhirnya menggembirakan, pada akhirnya kita mengerti betapa pentingnya
untuk mengerti dan menyadari tentang perasaan, sebab cinta sejati tak akan
datang untuk kedua kalinya.
Peri Tak Bergaun
Peri
Tak Bergaun
Wanita dengan pakaian sederhana itu terlihat sedang
terduduk di bangku di Taman yang tak terlalu sepi, terlihat ia seperti sedang
gelisah, menunggui sesuatu, ia hanya bolak-balik memandangi jam tangannya,
seolah sedang dikejar waktu, lalu ia beranjak dan berjalan mondar-mandir,
terlihat sangat gelisah dan bingung, layaknya angin yang bersepoi tanpa arah.
Tak
lama wanita itu terdiam, lalu memandang ke satu arah, arah dimana seorang
lelaki berdiri tegak memegang gitar, tak lama mereka bersua, lalu duduk berdua,
lelaki itu terlihat memainkan gitarnya sembari menyanyikan lagu yang sepertinya
amat mewakili perasaannya, wanita itu hanya menyipu, tersenyum gembira
memandangi lelaki itu. Lalu setelahnya lelaki itu memegang tangan wanita
tersebut, sembari mengatakan sesuatu yang membuat wanita itu senang, tak lama
wanita itu berbalas dengan memeluk lelaki tersebut, lalu ia beralih memegang
kertas, dan membacakan sesuatu untuk lelaki itu, seperti syair, atau sejenis
puisi.
Hai Pangeran..
Tahukah engkau, aku ingin menjadi seperti matahari,
yang selalu bersinar, menerangimu..
Dan layaknya bunga mawar yang pernah engkau beri,
aku ingin sepertinya, begitu indah untukmu..
Izinkanlah aku menjadi peri bagimu, walau tanpa
gaun, namun tetap indah dimatamu..
Lelaki itu terlihat begitu senang memandangi wanita
tersebut menyairkan isi hatinya, senyumnya begitu merebah, sepertinya
pikirnyapun melayang, terhempas terbang oleh buaian syair cinta wanita itu,
mereka begitu bahagia, seolah tak ada sepi dan sedih yang bergeming disana,
aura cinta begitu menguar, mengikat hati dalam suasana ria.
***
Didepan rumah yang terlihat mewah dan besar terpampang
seorang anak dan ayahnya yang sedang menikmati sarapan dan kopi pagi, sementara
ayah Andre membaca koran, Andre memainkan laptopnya, seperti sedang membaca
sesuatu.
Ayah Andre begitu memperhatikan gerak-gerik mata dari
Andre, seperti sudah tau apa yang sebenarnya Andre baca, Lalu ia memulai
percakapan, perbincangan di pagi hari.
“Kamu sedang baca puisi buatan wanita yang aneh itu? Kamu
pikir sekarang kamu berada di zaman W.S. Rendra masih suka membaca syair kuno
seperti itu.” Ujar ayahnya seolah tak suka dengan apa yang Andre baca.
“Ini buatan Anita, saya memang tak berada di zaman W.S.
Rendra, tapi Pah, saya percaya bahwa seni adalah elemen kekal dan abadi, tidak
termakan waktu, termasuk seni bersyair.” Jawab Andre seraya menatap ayahnya.
“Kamu sudah ditakdirkan berjodoh dengan Alisha, mengapa
kau tetap bersikap bodoh dengan terus mempertahankan wanita itu? Kau ingin
membuat keluargamu malu? Kamu mau buat Papah malu?” Ucap ayahnya dengan nada
keras.
“Sebenarnya saya atau Papah yang berada di zaman W.S.
Rendra? Kenapa Papah selalu memaksakan kehendak dengan memaksa saya untuk
berjodoh dengan orang yang saya tidak cinta? Berumah tangga tidak semudah itu.
Pah, apalagi tidak berlandaskan cinta. Saya bosan harus mempermasalahkan semua
ini, maaf, Pah.” Pungkas Andre seraya bergegas pergi masuk ke dalam rumah.
“Dasar anak tak tahu diuntung!” Bentak ayahnya dengan
emosi yang membludak.
***
Di rumah yang amat sederhana, terlihat seorang pria
menanti di depan, terduduk sendiri dengan wajah gelisah, dari dalam rumah
keluarlah wanita dengan pakaian sederhana berjalan mendekati pria tersebut----Anita,
sembari membawa dua cangkir gelas berisi teh hangat, seraya duduk berdua,
mereka memulai perbincangan hangat.
““Oh iya, aku diundang kan ke acara pernikahan kamu dan
Alisha?” Ucap Anita memulai pembicaraan.
“Aku takkan menikah dengannya.” Tegas Andre dengan nada
sinis.
“Mau melawan perintah orang tua?” Jawab Anita dengan nada
yang ikut sinis.
“Mau mengikuti kata hati, untuk menyayangimu.” Ujarnya,
dengan nada halus.
“Hati tak selalu benar, kalaupun ia memang benar, kadang
ia tak mengerti tentang keadaan.”
“Melawan keadaan atas nama cinta itu tidak salah, ‘kan?
“Hidup itu mengikuti keadaan, bukan melawan keadaan.”
Tegas Anita, membuat Andre tercengang.
“Seharusnya kamu mendukungku untuk memperjuangkan kita,
tapi mengapa seolah kau lebih menginginkanku menikah dengan Alisha?” Jawab
Andre tak terima.
“Kamu harus percaya, menikah dengan Alisha adalah jalan
terbaik untukmu, pernahkah kau mendengar kalau cinta tak harus saling
memiliki?” Jawab Anita kembali menentang.
“Kau tak mengerti juga, sudahlah, memang lelah berjuang
sendirian, bahkan orang yang kuperjuangkanpun tak jua mengerti.”
“Kamu akan mengerti, Ndre, nanti, suatu hari pasti kamu
akan mengerti.” Ucap Anita dengan senyum tulus.
“Terserah.” Jawab Andre seraya beranjak pergi dengan
wajah gusar.
Anita tak mencegah, ia hanya tersenyum melihat sikap
Andre, seperti ada hal yang ia inginkan dari pertengkarannya tadi, lalu ia
kembali masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan.
***
Dengan penuh kekesalan yang mengutat, Andre mengendarai
mobilnya dan bergegas pergi entah kemana, tiba-tiba suara ponselnya berdeguk
keras, pertanda panggilan masuk tiba.
“Apa!?
Baik, aku segera kesana! Kamar A12 Rumah Sakit Citra Asih, ‘kan Mah? Tunggu
Andre, Andre segera menyusul.” Panggilan yang mengejutkan itupun membuat andre
ingin segera memacu mobilnya, bergegas dengan cepat ia menuju rumah sakit
tujuannya, sesampainya disana, ia segera menuju kamar yang dituju dengan
tergesa.
“Mah!
Papah kenapa?” Ucap Andre panik.
“Serangan
jantung, Ndre, beruntung nyawanya masih belum dicabut Tuhan..” Kata Ibunya
dengan lirih seraya menyisakkan isak tangis.
“Dengan
wajahnya gusar dan panik Andre segera menuju ayahnya yang sedang terkapar lesu
tanpa suara.”
Ia
tak berkata, hanya memegangi tangan ayahnya yang dingin, sembari merintikkan
air mata, seolah Andre sangat tak ingin kehilangan ayah yang seringkali
memarahinya itu. Hari-hari berikutnya ia memilih tak pulang, ia memilih menjaga
ayahnya hingga siuman, berharap ayahnya terbangun dan melihat dirinya yang
sedang gelisah itu.
5 hari kemudian..
”Dok!!
Papah siuman, Dok! Tirak Andre sembari berlari pada Dokter yang menangani
ayahnya itu.
Tak
lama dokter melakukan checking, Andre
segera masuk kembali dan segera memeluk ayahnya yang baru siuman itu.
“Ndre,
papah mau hadiah ulang tahun papah tanggal 28 nanti kamu sudah menikah dengan
Alisha, kamu mau, ‘kan?” Ujar ayah Andre dengan suara yang masih serak.
Andre
hanya tercengang sejenak, tak gapai menjawab, ibunya hanya mengangguk dan
mengusap punggung Andre, pertanda menginginkan ia mengiyakan permintaan ayahnya
itu.
“Iya,
Pah…” Jawab Andre dengan nada yang lirih dan wajah memelas, penuh keterpaksaan.
“Terima
kasih, Ndre..” Ujar ayahnya dengan senyum bahagia.
Andre
hanya mengangguk pelan dengan wajah yang sukar tersenyum. Setelahnya suasana
keluarganya kembali menjadi ceria, dan tentram, setelah Andre mau mengalah pada
ayahnya.
***
Dibawah
pohon yang rindang dan sejuk, terlihat wanita yang sedang menulis sesuatu,
diatas batu cadas ia terduduk tenang, seolah sedang menyerap inspirasi yang hadir,
tak lama seorang pria berbadan tegak singgah disampingnya, lalu ikut terduduk,
pria yang sudah tak asing baginya----kekasihnya.
“Judul syairnya apa, Nit?” Ucap Andre memulai
pembicaraan.
“Peri Bergaun Cahaya” Jawab Anita, seraya menatap dengan
senyuman.
“Menceritakan tentang wanita yang teramat cantik dengan
balutan gaun nan-indah, semakin membuatnya semakin bercahaya.” Lanjutnya.
“Peri tak harus bergaun bagus untuk tetap terlihat
cantik, sosok peri untukku adalah kamu, meski tanpa gaun, namun tetap
bercahaya.” Pungkas Andre, sembari menatap dalam Anita.
“Kamu sedang membaca syair, atau sedang berbicara isi
hatimu padaku?” Tanyanya dengan wajah penasaran.
“Menyairkan isi hati ini untukmu, Nit.” Jawabnya singkat.
Anita hanya tersenyum gembira, sembari kembali menuliskan
syairnya.
“Maaf
ya, yang kemarin aku emosi.”
“Tak
apa, Ndre… Ohiya aku udah terima undangannya, selamat ya.” Ucap Anita, dengan
nada yang teramat lirih.
“Aku
terpaksa, Nit… Sejujurnya aku tak ingin, semoga ini yang terbaik buat kita..”
“Aku
‘kan sudah bilang, itu yang terbaik untuk hidupmu, percaya sama aku, pada
akhirnya kamu akan mengerti mengapa aku bilang semua ini yang terbaik.”
“Jangan
pernah lupain aku ya, Nit, kamu tetap akan jadi peri tak bergaun untukku, meski
bukan dalam pelukku.’
“Peri
itu tak ada, peri hanya bayang-bayang, kalaupun ia ada, ia pasti akan kembali
ke langit, ‘kan?” Ucapnya.
Andre
tak menjawab, ia hanya terbengung mendengar ucapan Anita yang begitu menyentuh,
ia hanya mengusap rambut Anita.
“Jangan
buang syair-syair aku ya, syair-syair itu suatu saat akan kau ingat, kalau
pernah ada wanita penyair yang kamu
anggap peri.”
“Pasti..”
Ucap Andre dengan nada sendunya, seolah berat melepas Anita, matanya mulai
berkaca, betapapun hatinya tak rela harus merelakan orang yang ia cinta, tak
pelak ia berharap perpisahan ini takkan berujung sesal, tak ayal ia berdoa
jikalau keputusannya ini yang terbaik untuknya, juga untuk Anita.
***
27 Oktober 2013, sehari sebelum
pernikahan Andre dan Alisha
Didekat
batu nisan, terlihat seorang pria sedang menangis, begitu keras isaknya, begitu
dalam lirihnya menguar, air mata seorang lelakipun terkucur deras ketika orang
yang paling ia tidak inginkan pergi, pergi meninggalkannya tanpa sepatah
katapun.
Pangeranku, Andre
Segurat syair ini mungkin akan kau
baca ketika aku pergi menuju langit
Tugasku sebagai peri-mu, sudah
selesai, kini saatnya aku kembali ke langit
Maafkanlah peri tak bergaunmu ini
jikalau ia tak sempat berucap
Jika ada yang kau tidak ketahui
tentangku, atau tidak ku beri tahu
Sesungguhnya aku bukan tak
memercayaimu, hanya saja itulah caraku berkorban
Setidaknya pernah mengenalmu adalah
indah, dan bersamamu adalah yang terindah
Simpanlah syairku ini, biarkanlah
ku terbang, meski tanpa sayap..
Satu pintaku, berjanjilah untuk
berbahagia, meski tanpaku…
Dan kenanglah aku sesekali, sebagai
seorang wanita, atau bahkan peri..
Salam cinta, Anita Adelia, peri tak
bergaunmu. J
Anita pergi untuk selamanya, penyakit jantung yang ia
pendam selama ini ternyata adalah alasannya untuk melepas Andre, Andre-pun rela
melepas Anita, dengan begitu kehidupan barunya dengan Alisha di mulai, semua
berjalan sesuai harapan, tak ada sesal, tak ada yang terluka.
“Cinta
adalah tentang melakukan yang terbaik, bukan tentang menjadi sempurna, atau
memiliki.”
Langganan:
Postingan (Atom)