Minggu, 06 Oktober 2013

Cinta Datang Terlambat


Cinta Datang Terlambat

            Tak kumengerti mengapa begini, saat aku mulai bimbang akan perasaaan sendiri, tak tahu pasti dimana kini hatiku bertinggal, seperti ada rindu yang terukir perlahan, seiring rasa kehilangan yang menyendu. Seolah perasaan itu mampir sejenak, entah hanya sekedar mengusik ataukah benar-benar menetap, dalam dilema kucercah bait demi bait kata, hanya sekadar untuk mencari makna tentang perasaan ini.
            Kau denganku, sepasang sahabat yang pada dasarnya tidak terpikirkan pada perasaan cinta. Tidak terpikirkan, tapi tetap terasakan, karena hadirmu sudah menjadi penyelaras hariku, tentu sekat-sekat hatiku akan mencarimu ketika hadirmu tiada. Atas kebersamaan yang telah berlangsung begitu lama, begitu indah semua jika terbayang, sayang kita terbentur oleh tembok persahabatan, yang membatasi perasaanku, juga perasaanmu.
            Apalah daya, ketika perasaan mulai tak bisa dibohongi lagi, dan kita mulai menyadari betapa pentingnya kebersamaan ini untuk terus dilalui, maka perlahan perasaan itu mulai menyeruak, tak lagi bisa dipendam. Bahwa kita memang saling membutuhkan, bahwa kita memang saling menyayangi, meski dalam tirai persahabatan. Namun, keterlambatan hadirnya perasaan itu seakan menjadikan kisah ini petaka, saat aku denganmu mulai saling meragu, sampai kita saling meninggalkan sembari menyisakan serpihan-serpihan rindu, dan puing-puing rasa kehilangan.
            Meli
            Nama yang sudah tak lagi asing dalam ingatku, sebab beberapa momen pertama dalam hidupku, kuarungi bersamanya. Tentang suka-duka kehidupanpun sudah terlewati antara kita. Berada dalam satu kelas membuat persahabatan ini semakin lekat, seakan detik-detik dalam hidupku bisa kulalui bebas bersamamu. Tidak, kami tidak terpikir untuk memulai kisah cinta, lagi-lagi kami sebaik mungkin berusaha membatasi diri akan adanya tirai persahabatan, dibalik perasaan yang tersimpan dalam ini. Aku tak tau pasti, siapa yang mulai mengakui perasaan ini, namun semua dimulai saat rasa rindu dan rasa kehilangan itu bercampur, seakan menyadarkanku untuk kembali menyorot jendela masa lalu, tentang kebersamaan kita.
            Aku punya kekasih, dan kaupun begitu. Sejak awal dipertemukan kita tak pernah sekalipun mengalami masa dimana kita sama-sama dalam keadaan tidak memiliki kekasih. Sehingga tak jua tersirat dalam benak antara kau ataupun diriku untuk menguntai kasih, atau hal yang lebih dari ini. Ejek-mengejek pacarpun adalah kebiasaan kami. Mungkin, disini mulai muncul antara kau denganku untuk membatasi diri satu sama lain.
            “Dan, mau ngomong sesuatu, mau cerita..” Meli berucap pada Dani, seketika Dani yang sedang bersua dengan teman-temannya menoleh, lalu mengikuti gerik wanita cantik itu.
            “Ada apa? Mau cerita tentang pacar yang lagi-lagi nyakitin hati?” Dani berkata dengan nada yang sinis.
            “Bukan, ini serius, Dan… “ Nada bicara Meli mulai terisak, air matapun mulai merintik perlahan dari mata indahnya.
            “Mel…. Maaf itu cuma bercanda, ada apa?” Kata Dani menatap dalam.
            “Nggak ada apa-apa, nikmatin aja jam-jam terakhir ini Dan, besok udah nggak ada cewek bawel yang namanya Meli lagi.” Jawab Meli dengan senyuman palsunya.
            “Hah, maksudnya?” Sentak Dani dengan nada membentak, Meli tak kuasa menjawab, ia hanya tersenyum palsu sembari mengusap-usap lumuran air mata yang bergelimang di pipinya.
            “Mel, ada apa sebenernya? Jawab Mel…” Lontar Dani dengan nada serius.
            “Gue, gue.. Mulai minggu depan gue udah bukan sekolah disini lagi, Dan.” Jawabnya dengan mata menatap ke bawah, dengan senyum yang terlihat tidak tulus.
“Bisa diperjelas? Pindah sekolah maksudnya?” Tanya Dani.
“Iya, Dan… Rencana yang awalnya gue kira bakal batal itu ternyata sekarang jadi..”
“Oh, ya mau gimana lagi, mungkin ini yang terbaik, Mel..”
“Gue kira setelah lo tau lo bakal sedih, ternyata enggak.” Bentak Meli dengan nada keras.
“Bukan gitu Mel…” Sanggah Dani.
“Udah ya gue mau siapin barang-barang buat besok.” Ucap Meli sembari bergegas pergi.
“Tunggu! Besok? Kenapa secepet itu? Katanya Minggu depan?” Cegah Dani menghentikan langkah Meli.
“Sekolahnya sih Minggu depan, tapi berangkatnya besok.” Jawab Meli dengan nada yang teramat sinis, lalu kembali melanjutkan langkah dan bergegas pergi.
Dani tak mencegah ataupun berkata, ia hanya terdiam seperti sedang membayangkan sesuatu.
***
*Dani*
Hari ini terasa begitu melelahkan untukku, berada disekolah hampir seharian dengan aktivitas yang kian padat, hari ini aku mendapati informasi buruk, sahabatku Meli besok akan berangkat menuju Jakarta, ibukota yang terkenal dengan hidup kerasnya, rasanya hari ini benar-benar berbeda, tak ada si “bawel” yang biasanya selalu bersamaku, menemaniku.
Ada yang mengganjal, menggetahui dirinya pergi membuatku tak mengerti, ada segurat perasaan, entah pedih karena akan kehilangan, ataukah hanya firasat buruk. Terbayang olehku ketika hari-hari esok tiada lagi suaramu, yang selalu bergores keras melintasi gendang telingaku, tak ada lagi ragamu yang biasanya selalu hadir menemani, tak ada lagi tawa kita yang selama ini terukir bebas, tersirat lepas, adakah semua itu akan terjadi kembali? Aku mulai bingung, rasanya ini lebih berat daripada harus kehilangan kekasih, apakah perasaan ini? Ataukah mungkin ini cinta?
Entahlah, dilema kini melumutiku, sepertinya tak siap bagiku untuk kehilangan sosoknya. Gelang yang kupakai ini semakin menyenduku, aku masih ingat ketika kau memakaikan gelang ini bagiku sebagai tanda persahabatan, dan setelah hari itu aku terus memakai gelang ini, Mel mengapa kau harus pergi?

*Meli*
Barang-barang sudah siap, semua sudah siap, hanya saja sepertinya hati ini belum siap. Yang terbayang sekarang adalah membayangi hari esok tiada lagi sosok Dani yang biasanya selalu ada untukku, aku tak henti menggalaui hal ini, seperti halnya mereka yang menggalaui kekasihnya. Namun, mendengar ucapan Dani yang seolah tak kaget dan rela, membuatku sedikit lega, setidaknya aku tidak terlalu berat untuk meninggalkannya.
Sejujurnya ada perasaan yang sulit bisa kuucap, perasaan yang tak dapat kumengerti, tak mampu kupahami, saat semua kenanganku bersama Dani begitu menghadangku untuk pergi, hati seolah mencegah, raga seolah tak sanggup untuk melangkah, sepertinya kepergianku ini tak direstui oleh hati.
Takut, mungkin itu yang tergambar kini, namun kata “Takut” tadi hanya menyudut pada satu nama ; Dani. Apakah aku takut kehilanganmu, Dan? Bukankah kita hanya sahabat dan tak harus selalu bersama? Ataukah hati ini menganggapnya lebih? Cinta kah? Tidak, aku tidak ingin mengakui apa nama perasaan ini, sebab hati tak sanggup, sebab jiwa tak mampu. Aku hanya berharap, kelak di jauh sana ada sosok-sosok lain yang mampu mengganti hadirmu, Dan.
***
Seminggu kemudian…
Dibalik kepergiannya disana, aku masih saja merasa kehilangan, beberapa hari ini kuhabiskan dengan penuh kegalauan, tiada sosok yang biasa ada, tiada lagi orang yang selalu bisa menghadirkan tawa untukku, kepergianmu sungguh menyakitkan, membuatku terpaku dalam guratan kesedihan, membuatku rapuh dalam jerat sendu, lalu rindu semakin menikamku dalam jurang kepedihan, karena tanpa hadirmu.
Hanya sesal, ketika kini nyatanya aku menyadari tentang perasaan ini, tentang cinta, yang datang terlambat. Saat cinta datang disaat yang tidak tepat, lalu kemana sajakah ini hati ini? Mengapa ia baru menyadari saat dirinya sudah pergi? Betapa menyakitkan ketika kau tak lagi bisa kutemui, bahkan untuk sekedar kupandang.
Rindu, dan rasa kehilanganlah yang menyadarkanku, lewat rindu kau buat perasaan ini begitu menggebu, lalu lewat rasa kehilangan kau buat diriku tersadar, bahwa nyatanya sosokmu lah yang selama ini menjadi tambatan hati, mungkin memang ku cinta, mungkin memang kusesali, pernah terhiraukan perasaan ini, padamu.

***
“Maaf, jika pesan singkat ini akan sedikit mengganggumu, maaf jika beberapa bait kata ini akan sedikit mengusikmu, aku hanya ingin berkata, bahwa aku sedang merindumu, aku merindu masa dimana berbagi denganmu, rindu dimana masa saat candamu menghadirkan tawa untukku, lalu rindu itu menyadarkanku betapa berat arti perpisahan ini, ragamu tak lagi bisa kugapai, bahkan menatapmu saja sudah tak bisa. Satu harapku, semoga gelang sederhana yang kuberi untukmu akan menyadarkanmu, dari jauh sini hadir sesosok diriku, sesosok bodoh yang pernah mengabaikan perasaannya, lalu dalam sesal ia menginginkanmu kembali, padanya. Sebut saja dia adalah aku, yang merasa pedih tanpamu, yang merasa rapuh tanpamu. Karena bersamamu aku merasa utuh, tak lagi separuh. Maafkan aku, permintaan terakhirku, kenanglah aku sesekali.” Pesan singkat yang teramat panjang itu berlabuh di ponsel Meli, lalu kucuran air mata mulai tercurah dari matanya, entah air mata haru, entah air mata kepedihan.
Meli hanya terperanga, hari-harinya ia lalui tiada semangat, hanya karena satu nama yang selalu ada untuknya dulu, ia tak mampu bicara, ia tak mampu bertindak, ketika ia menggetahui bahwa ternyata Dani memiliki perasaan yang sama dengannya, sesal begitu bergelut dalam jiwanya, betapapun ia menangisi, tetap saja keadaan takkan berubah, mungkin mengajari hati untuk rela adalah pilihan terbaik untuknya.

***
Di bawah pohon terlihat pria berkemeja hitam sedang terbengung bisu, seperti sedang membayangkan sesuatu, dengan raut wajah yang begitu gusar.
“Lain kali kalo punya perasaaan bilang, jangan mendem, jangan gengsi, apalagi sampe nggak sadar, penyesalan selalu ada di belakang.” Suara wanita yang terdengar lembut itu memecah suasana hening, lelaki itu pun menengok lalu terjengah melihati sosok wanita itu.
“Kenapa? Kaget? Atau seneng?” ucap Meli dengan senyum gembira/
Dani tak lantas berbicara, ia langsung berlari dan memeluk Meli, seperti melampiaskan rindu yang kian dalam.
“Jangan tinggalin aku lagi, aku cinta kamu, bukan sebagai sahabat, bukan.. Tapi sebagai kamu seutuhnya, seorang wanita.” Kata Dani seraya melepas peluknya lalu menatap Meli dengan penuh kasih sayang.
“Percuma kalau aku disana, nggak ada gairah, bakal ngerasa tetep sepi, aku butuh kamu, Dan…”
“Aku janji, akan terus ada untuk kamu, menyayangimu seutuhnya, dengar aku, sekarang, besok, kemarin, atau beberapa tahun lagi, aku pengen ngelewatin semua bareng kamu, aku mohon, janji sama aku kamu tetep disini.”
“Aku janji..” Kata Meli dengan penuh senyuman.
“Aku mau pensiun jadi sahabat kamu, sekarang aku mau jadi pacar kamu.”
Meli hanya tersipu malu mendengar ucapan Dani, lalu ia mengangguk pertanda mengiyakan ucapan Dani.
“Cie cinta datang terlambat nih, cie sekarang pacaran nih.. Hahaha” Giur Dani menghidupkan suasana.
“Apasih kamu, kan kamu yang pengen…”
“Oh jadi kamu nggak pengen?”
“Lebih pengen sih… Hahaha” Lalu mereka berdua tertawa gembira, menutup semua kisah, dengan akhirnya menggembirakan, pada akhirnya kita mengerti betapa pentingnya untuk mengerti dan menyadari tentang perasaan, sebab cinta sejati tak akan datang untuk kedua kalinya.

Peri Tak Bergaun


Peri Tak Bergaun
            Wanita dengan pakaian sederhana itu terlihat sedang terduduk di bangku di Taman yang tak terlalu sepi, terlihat ia seperti sedang gelisah, menunggui sesuatu, ia hanya bolak-balik memandangi jam tangannya, seolah sedang dikejar waktu, lalu ia beranjak dan berjalan mondar-mandir, terlihat sangat gelisah dan bingung, layaknya angin yang bersepoi tanpa arah.
Tak lama wanita itu terdiam, lalu memandang ke satu arah, arah dimana seorang lelaki berdiri tegak memegang gitar, tak lama mereka bersua, lalu duduk berdua, lelaki itu terlihat memainkan gitarnya sembari menyanyikan lagu yang sepertinya amat mewakili perasaannya, wanita itu hanya menyipu, tersenyum gembira memandangi lelaki itu. Lalu setelahnya lelaki itu memegang tangan wanita tersebut, sembari mengatakan sesuatu yang membuat wanita itu senang, tak lama wanita itu berbalas dengan memeluk lelaki tersebut, lalu ia beralih memegang kertas, dan membacakan sesuatu untuk lelaki itu, seperti syair, atau sejenis puisi.
Hai Pangeran..
Tahukah engkau, aku ingin menjadi seperti matahari, yang selalu bersinar, menerangimu..
Dan layaknya bunga mawar yang pernah engkau beri, aku ingin sepertinya, begitu indah untukmu..
Izinkanlah aku menjadi peri bagimu, walau tanpa gaun, namun tetap indah dimatamu..
            Lelaki itu terlihat begitu senang memandangi wanita tersebut menyairkan isi hatinya, senyumnya begitu merebah, sepertinya pikirnyapun melayang, terhempas terbang oleh buaian syair cinta wanita itu, mereka begitu bahagia, seolah tak ada sepi dan sedih yang bergeming disana, aura cinta begitu menguar, mengikat hati dalam suasana ria.
***
            Didepan rumah yang terlihat mewah dan besar terpampang seorang anak dan ayahnya yang sedang menikmati sarapan dan kopi pagi, sementara ayah Andre membaca koran, Andre memainkan laptopnya, seperti sedang membaca sesuatu.
            Ayah Andre begitu memperhatikan gerak-gerik mata dari Andre, seperti sudah tau apa yang sebenarnya Andre baca, Lalu ia memulai percakapan, perbincangan di pagi hari.
            “Kamu sedang baca puisi buatan wanita yang aneh itu? Kamu pikir sekarang kamu berada di zaman W.S. Rendra masih suka membaca syair kuno seperti itu.” Ujar ayahnya seolah tak suka dengan apa yang Andre baca.
            “Ini buatan Anita, saya memang tak berada di zaman W.S. Rendra, tapi Pah, saya percaya bahwa seni adalah elemen kekal dan abadi, tidak termakan waktu, termasuk seni bersyair.” Jawab Andre seraya menatap ayahnya.
            “Kamu sudah ditakdirkan berjodoh dengan Alisha, mengapa kau tetap bersikap bodoh dengan terus mempertahankan wanita itu? Kau ingin membuat keluargamu malu? Kamu mau buat Papah malu?” Ucap ayahnya dengan nada keras.
            “Sebenarnya saya atau Papah yang berada di zaman W.S. Rendra? Kenapa Papah selalu memaksakan kehendak dengan memaksa saya untuk berjodoh dengan orang yang saya tidak cinta? Berumah tangga tidak semudah itu. Pah, apalagi tidak berlandaskan cinta. Saya bosan harus mempermasalahkan semua ini, maaf, Pah.” Pungkas Andre seraya bergegas pergi masuk ke dalam rumah.
            “Dasar anak tak tahu diuntung!” Bentak ayahnya dengan emosi yang membludak.

***
            Di rumah yang amat sederhana, terlihat seorang pria menanti di depan, terduduk sendiri dengan wajah gelisah, dari dalam rumah keluarlah wanita dengan pakaian sederhana berjalan mendekati pria tersebut----Anita, sembari membawa dua cangkir gelas berisi teh hangat, seraya duduk berdua, mereka memulai perbincangan hangat.
            ““Oh iya, aku diundang kan ke acara pernikahan kamu dan Alisha?” Ucap Anita memulai pembicaraan.
            “Aku takkan menikah dengannya.” Tegas Andre dengan nada sinis.
            “Mau melawan perintah orang tua?” Jawab Anita dengan nada yang ikut sinis.
            “Mau mengikuti kata hati, untuk menyayangimu.” Ujarnya, dengan nada halus.
            “Hati tak selalu benar, kalaupun ia memang benar, kadang ia tak mengerti tentang keadaan.”
            “Melawan keadaan atas nama cinta itu tidak salah, ‘kan?
            “Hidup itu mengikuti keadaan, bukan melawan keadaan.” Tegas Anita, membuat Andre tercengang.
            “Seharusnya kamu mendukungku untuk memperjuangkan kita, tapi mengapa seolah kau lebih menginginkanku menikah dengan Alisha?” Jawab Andre tak terima.
            “Kamu harus percaya, menikah dengan Alisha adalah jalan terbaik untukmu, pernahkah kau mendengar kalau cinta tak harus saling memiliki?” Jawab Anita kembali menentang.
            “Kau tak mengerti juga, sudahlah, memang lelah berjuang sendirian, bahkan orang yang kuperjuangkanpun tak jua mengerti.”
            “Kamu akan mengerti, Ndre, nanti, suatu hari pasti kamu akan mengerti.” Ucap Anita dengan senyum tulus.
            “Terserah.” Jawab Andre seraya beranjak pergi dengan wajah gusar.
            Anita tak mencegah, ia hanya tersenyum melihat sikap Andre, seperti ada hal yang ia inginkan dari pertengkarannya tadi, lalu ia kembali masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan.
***
            Dengan penuh kekesalan yang mengutat, Andre mengendarai mobilnya dan bergegas pergi entah kemana, tiba-tiba suara ponselnya berdeguk keras, pertanda panggilan masuk tiba.
“Apa!? Baik, aku segera kesana! Kamar A12 Rumah Sakit Citra Asih, ‘kan Mah? Tunggu Andre, Andre segera menyusul.” Panggilan yang mengejutkan itupun membuat andre ingin segera memacu mobilnya, bergegas dengan cepat ia menuju rumah sakit tujuannya, sesampainya disana, ia segera menuju kamar yang dituju dengan tergesa.
“Mah! Papah kenapa?” Ucap Andre panik.
“Serangan jantung, Ndre, beruntung nyawanya masih belum dicabut Tuhan..” Kata Ibunya dengan lirih seraya menyisakkan isak tangis.
“Dengan wajahnya gusar dan panik Andre segera menuju ayahnya yang sedang terkapar lesu tanpa suara.”
Ia tak berkata, hanya memegangi tangan ayahnya yang dingin, sembari merintikkan air mata, seolah Andre sangat tak ingin kehilangan ayah yang seringkali memarahinya itu. Hari-hari berikutnya ia memilih tak pulang, ia memilih menjaga ayahnya hingga siuman, berharap ayahnya terbangun dan melihat dirinya yang sedang gelisah itu.
5 hari kemudian..
”Dok!! Papah siuman, Dok! Tirak Andre sembari berlari pada Dokter yang menangani ayahnya itu.
Tak lama dokter melakukan checking, Andre segera masuk kembali dan segera memeluk ayahnya yang baru siuman itu.
“Ndre, papah mau hadiah ulang tahun papah tanggal 28 nanti kamu sudah menikah dengan Alisha, kamu mau, ‘kan?” Ujar ayah Andre dengan suara yang masih serak.
Andre hanya tercengang sejenak, tak gapai menjawab, ibunya hanya mengangguk dan mengusap punggung Andre, pertanda menginginkan ia mengiyakan permintaan ayahnya itu.
“Iya, Pah…” Jawab Andre dengan nada yang lirih dan wajah memelas, penuh keterpaksaan.
“Terima kasih, Ndre..” Ujar ayahnya dengan senyum bahagia.
Andre hanya mengangguk pelan dengan wajah yang sukar tersenyum. Setelahnya suasana keluarganya kembali menjadi ceria, dan tentram, setelah Andre mau mengalah pada ayahnya.
***
Dibawah pohon yang rindang dan sejuk, terlihat wanita yang sedang menulis sesuatu, diatas batu cadas ia terduduk tenang, seolah sedang menyerap inspirasi yang hadir, tak lama seorang pria berbadan tegak singgah disampingnya, lalu ikut terduduk, pria yang sudah tak asing baginya----kekasihnya.
            “Judul syairnya apa, Nit?” Ucap Andre memulai pembicaraan.
            “Peri Bergaun Cahaya” Jawab Anita, seraya menatap dengan senyuman.
            “Menceritakan tentang wanita yang teramat cantik dengan balutan gaun nan-indah, semakin membuatnya semakin bercahaya.” Lanjutnya.
            “Peri tak harus bergaun bagus untuk tetap terlihat cantik, sosok peri untukku adalah kamu, meski tanpa gaun, namun tetap bercahaya.” Pungkas Andre, sembari menatap dalam Anita.
            “Kamu sedang membaca syair, atau sedang berbicara isi hatimu padaku?” Tanyanya dengan wajah penasaran.
            “Menyairkan isi hati ini untukmu, Nit.” Jawabnya singkat.
            Anita hanya tersenyum gembira, sembari kembali menuliskan syairnya.
“Maaf ya, yang kemarin aku emosi.”
“Tak apa, Ndre… Ohiya aku udah terima undangannya, selamat ya.” Ucap Anita, dengan nada yang teramat lirih.
“Aku terpaksa, Nit… Sejujurnya aku tak ingin, semoga ini yang terbaik buat kita..”
“Aku ‘kan sudah bilang, itu yang terbaik untuk hidupmu, percaya sama aku, pada akhirnya kamu akan mengerti mengapa aku bilang semua ini yang terbaik.”
“Jangan pernah lupain aku ya, Nit, kamu tetap akan jadi peri tak bergaun untukku, meski bukan dalam pelukku.’
“Peri itu tak ada, peri hanya bayang-bayang, kalaupun ia ada, ia pasti akan kembali ke langit, ‘kan?” Ucapnya.
Andre tak menjawab, ia hanya terbengung mendengar ucapan Anita yang begitu menyentuh, ia hanya mengusap rambut Anita.
“Jangan buang syair-syair aku ya, syair-syair itu suatu saat akan kau ingat, kalau pernah ada  wanita penyair yang kamu anggap peri.”
“Pasti..” Ucap Andre dengan nada sendunya, seolah berat melepas Anita, matanya mulai berkaca, betapapun hatinya tak rela harus merelakan orang yang ia cinta, tak pelak ia berharap perpisahan ini takkan berujung sesal, tak ayal ia berdoa jikalau keputusannya ini yang terbaik untuknya, juga untuk Anita.
***
27 Oktober 2013, sehari sebelum pernikahan Andre dan Alisha
Didekat batu nisan, terlihat seorang pria sedang menangis, begitu keras isaknya, begitu dalam lirihnya menguar, air mata seorang lelakipun terkucur deras ketika orang yang paling ia tidak inginkan pergi, pergi meninggalkannya tanpa sepatah katapun.
Pangeranku, Andre
Segurat syair ini mungkin akan kau baca ketika aku pergi menuju langit
Tugasku sebagai peri-mu, sudah selesai, kini saatnya aku kembali ke langit
Maafkanlah peri tak bergaunmu ini jikalau ia tak sempat berucap
Jika ada yang kau tidak ketahui tentangku, atau tidak ku beri tahu
Sesungguhnya aku bukan tak memercayaimu, hanya saja itulah caraku berkorban
Setidaknya pernah mengenalmu adalah indah, dan bersamamu adalah yang terindah
Simpanlah syairku ini, biarkanlah ku terbang, meski tanpa sayap..
Satu pintaku, berjanjilah untuk berbahagia, meski tanpaku…
Dan kenanglah aku sesekali, sebagai seorang wanita, atau bahkan peri..
Salam cinta, Anita Adelia, peri tak bergaunmu. J
            Anita pergi untuk selamanya, penyakit jantung yang ia pendam selama ini ternyata adalah alasannya untuk melepas Andre, Andre-pun rela melepas Anita, dengan begitu kehidupan barunya dengan Alisha di mulai, semua berjalan sesuai harapan, tak ada sesal, tak ada yang terluka.
            “Cinta adalah tentang melakukan yang terbaik, bukan tentang menjadi sempurna, atau memiliki.”