Senin, 21 Oktober 2013
Minggu, 06 Oktober 2013
Cinta Datang Terlambat
Cinta Datang Terlambat
Tak
kumengerti mengapa begini, saat aku mulai bimbang akan perasaaan sendiri, tak
tahu pasti dimana kini hatiku bertinggal, seperti ada rindu yang terukir
perlahan, seiring rasa kehilangan yang menyendu. Seolah perasaan itu mampir
sejenak, entah hanya sekedar mengusik ataukah benar-benar menetap, dalam dilema
kucercah bait demi bait kata, hanya sekadar untuk mencari makna tentang
perasaan ini.
Kau
denganku, sepasang sahabat yang pada dasarnya tidak terpikirkan pada perasaan
cinta. Tidak terpikirkan, tapi tetap terasakan, karena hadirmu sudah menjadi
penyelaras hariku, tentu sekat-sekat hatiku akan mencarimu ketika hadirmu
tiada. Atas kebersamaan yang telah berlangsung begitu lama, begitu indah semua
jika terbayang, sayang kita terbentur oleh tembok persahabatan, yang membatasi
perasaanku, juga perasaanmu.
Apalah
daya, ketika perasaan mulai tak bisa dibohongi lagi, dan kita mulai menyadari
betapa pentingnya kebersamaan ini untuk terus dilalui, maka perlahan perasaan
itu mulai menyeruak, tak lagi bisa dipendam. Bahwa kita memang saling
membutuhkan, bahwa kita memang saling menyayangi, meski dalam tirai
persahabatan. Namun, keterlambatan hadirnya perasaan itu seakan menjadikan
kisah ini petaka, saat aku denganmu mulai saling meragu, sampai kita saling
meninggalkan sembari menyisakan serpihan-serpihan rindu, dan puing-puing rasa
kehilangan.
Meli
Nama
yang sudah tak lagi asing dalam ingatku, sebab beberapa momen pertama dalam
hidupku, kuarungi bersamanya. Tentang suka-duka kehidupanpun sudah terlewati
antara kita. Berada dalam satu kelas membuat persahabatan ini semakin lekat,
seakan detik-detik dalam hidupku bisa kulalui bebas bersamamu. Tidak, kami
tidak terpikir untuk memulai kisah cinta, lagi-lagi kami sebaik mungkin
berusaha membatasi diri akan adanya tirai persahabatan, dibalik perasaan yang
tersimpan dalam ini. Aku tak tau pasti, siapa yang mulai mengakui perasaan ini,
namun semua dimulai saat rasa rindu dan rasa kehilangan itu bercampur, seakan
menyadarkanku untuk kembali menyorot jendela masa lalu, tentang kebersamaan
kita.
Aku
punya kekasih, dan kaupun begitu. Sejak awal dipertemukan kita tak pernah
sekalipun mengalami masa dimana kita sama-sama dalam keadaan tidak memiliki
kekasih. Sehingga tak jua tersirat dalam benak antara kau ataupun diriku untuk
menguntai kasih, atau hal yang lebih dari ini. Ejek-mengejek pacarpun adalah
kebiasaan kami. Mungkin, disini mulai muncul antara kau denganku untuk
membatasi diri satu sama lain.
“Dan,
mau ngomong sesuatu, mau cerita..” Meli berucap pada Dani, seketika Dani yang
sedang bersua dengan teman-temannya menoleh, lalu mengikuti gerik wanita cantik
itu.
“Ada
apa? Mau cerita tentang pacar yang lagi-lagi nyakitin hati?” Dani berkata
dengan nada yang sinis.
“Bukan,
ini serius, Dan… “ Nada bicara Meli mulai terisak, air matapun mulai merintik
perlahan dari mata indahnya.
“Mel….
Maaf itu cuma bercanda, ada apa?” Kata Dani menatap dalam.
“Nggak
ada apa-apa, nikmatin aja jam-jam terakhir ini Dan, besok udah nggak ada cewek
bawel yang namanya Meli lagi.” Jawab Meli dengan senyuman palsunya.
“Hah,
maksudnya?” Sentak Dani dengan nada membentak, Meli tak kuasa menjawab, ia
hanya tersenyum palsu sembari mengusap-usap lumuran air mata yang bergelimang
di pipinya.
“Mel,
ada apa sebenernya? Jawab Mel…” Lontar Dani dengan nada serius.
“Gue,
gue.. Mulai minggu depan gue udah bukan sekolah disini lagi, Dan.” Jawabnya
dengan mata menatap ke bawah, dengan senyum yang terlihat tidak tulus.
“Bisa diperjelas?
Pindah sekolah maksudnya?” Tanya Dani.
“Iya,
Dan… Rencana yang awalnya gue kira bakal batal itu ternyata sekarang jadi..”
“Oh,
ya mau gimana lagi, mungkin ini yang terbaik, Mel..”
“Gue
kira setelah lo tau lo bakal sedih, ternyata enggak.” Bentak Meli dengan nada
keras.
“Bukan
gitu Mel…” Sanggah Dani.
“Udah
ya gue mau siapin barang-barang buat besok.” Ucap Meli sembari bergegas pergi.
“Tunggu!
Besok? Kenapa secepet itu? Katanya Minggu depan?” Cegah Dani menghentikan
langkah Meli.
“Sekolahnya
sih Minggu depan, tapi berangkatnya besok.” Jawab Meli dengan nada yang teramat
sinis, lalu kembali melanjutkan langkah dan bergegas pergi.
Dani
tak mencegah ataupun berkata, ia hanya terdiam seperti sedang membayangkan
sesuatu.
***
*Dani*
Hari
ini terasa begitu melelahkan untukku, berada disekolah hampir seharian dengan
aktivitas yang kian padat, hari ini aku mendapati informasi buruk, sahabatku
Meli besok akan berangkat menuju Jakarta, ibukota yang terkenal dengan hidup
kerasnya, rasanya hari ini benar-benar berbeda, tak ada si “bawel” yang
biasanya selalu bersamaku, menemaniku.
Ada
yang mengganjal, menggetahui dirinya pergi membuatku tak mengerti, ada segurat
perasaan, entah pedih karena akan kehilangan, ataukah hanya firasat buruk.
Terbayang olehku ketika hari-hari esok tiada lagi suaramu, yang selalu bergores
keras melintasi gendang telingaku, tak ada lagi ragamu yang biasanya selalu
hadir menemani, tak ada lagi tawa kita yang selama ini terukir bebas, tersirat
lepas, adakah semua itu akan terjadi kembali? Aku mulai bingung, rasanya ini
lebih berat daripada harus kehilangan kekasih, apakah perasaan ini? Ataukah
mungkin ini cinta?
Entahlah,
dilema kini melumutiku, sepertinya tak siap bagiku untuk kehilangan sosoknya.
Gelang yang kupakai ini semakin menyenduku, aku masih ingat ketika kau
memakaikan gelang ini bagiku sebagai tanda persahabatan, dan setelah hari itu
aku terus memakai gelang ini, Mel mengapa kau harus pergi?
*Meli*
Barang-barang
sudah siap, semua sudah siap, hanya saja sepertinya hati ini belum siap. Yang
terbayang sekarang adalah membayangi hari esok tiada lagi sosok Dani yang
biasanya selalu ada untukku, aku tak henti menggalaui hal ini, seperti halnya
mereka yang menggalaui kekasihnya. Namun, mendengar ucapan Dani yang seolah tak
kaget dan rela, membuatku sedikit lega, setidaknya aku tidak terlalu berat
untuk meninggalkannya.
Sejujurnya
ada perasaan yang sulit bisa kuucap, perasaan yang tak dapat kumengerti, tak
mampu kupahami, saat semua kenanganku bersama Dani begitu menghadangku untuk
pergi, hati seolah mencegah, raga seolah tak sanggup untuk melangkah,
sepertinya kepergianku ini tak direstui oleh hati.
Takut,
mungkin itu yang tergambar kini, namun kata “Takut” tadi hanya menyudut pada
satu nama ; Dani. Apakah aku takut kehilanganmu, Dan? Bukankah kita hanya
sahabat dan tak harus selalu bersama? Ataukah hati ini menganggapnya lebih?
Cinta kah? Tidak, aku tidak ingin mengakui apa nama perasaan ini, sebab hati
tak sanggup, sebab jiwa tak mampu. Aku hanya berharap, kelak di jauh sana ada
sosok-sosok lain yang mampu mengganti hadirmu, Dan.
***
Seminggu kemudian…
Dibalik
kepergiannya disana, aku masih saja merasa kehilangan, beberapa hari ini
kuhabiskan dengan penuh kegalauan, tiada sosok yang biasa ada, tiada lagi orang
yang selalu bisa menghadirkan tawa untukku, kepergianmu sungguh menyakitkan,
membuatku terpaku dalam guratan kesedihan, membuatku rapuh dalam jerat sendu,
lalu rindu semakin menikamku dalam jurang kepedihan, karena tanpa hadirmu.
Hanya
sesal, ketika kini nyatanya aku menyadari tentang perasaan ini, tentang cinta,
yang datang terlambat. Saat cinta datang disaat yang tidak tepat, lalu kemana
sajakah ini hati ini? Mengapa ia baru menyadari saat dirinya sudah pergi?
Betapa menyakitkan ketika kau tak lagi bisa kutemui, bahkan untuk sekedar
kupandang.
Rindu,
dan rasa kehilanganlah yang menyadarkanku, lewat rindu kau buat perasaan ini
begitu menggebu, lalu lewat rasa kehilangan kau buat diriku tersadar, bahwa
nyatanya sosokmu lah yang selama ini menjadi tambatan hati, mungkin memang ku
cinta, mungkin memang kusesali, pernah terhiraukan perasaan ini, padamu.
***
“Maaf, jika pesan singkat ini akan
sedikit mengganggumu, maaf jika beberapa bait kata ini akan sedikit mengusikmu,
aku hanya ingin berkata, bahwa aku sedang merindumu, aku merindu masa dimana
berbagi denganmu, rindu dimana masa saat candamu menghadirkan tawa untukku,
lalu rindu itu menyadarkanku betapa berat arti perpisahan ini, ragamu tak lagi
bisa kugapai, bahkan menatapmu saja sudah tak bisa. Satu harapku, semoga gelang
sederhana yang kuberi untukmu akan menyadarkanmu, dari jauh sini hadir sesosok
diriku, sesosok bodoh yang pernah mengabaikan perasaannya, lalu dalam sesal ia
menginginkanmu kembali, padanya. Sebut saja dia adalah aku, yang merasa pedih
tanpamu, yang merasa rapuh tanpamu. Karena bersamamu aku merasa utuh, tak lagi
separuh. Maafkan aku, permintaan terakhirku, kenanglah aku sesekali.” Pesan
singkat yang teramat panjang itu berlabuh di ponsel Meli, lalu kucuran air mata
mulai tercurah dari matanya, entah air mata haru, entah air mata kepedihan.
Meli
hanya terperanga, hari-harinya ia lalui tiada semangat, hanya karena satu nama
yang selalu ada untuknya dulu, ia tak mampu bicara, ia tak mampu bertindak,
ketika ia menggetahui bahwa ternyata Dani memiliki perasaan yang sama
dengannya, sesal begitu bergelut dalam jiwanya, betapapun ia menangisi, tetap
saja keadaan takkan berubah, mungkin mengajari hati untuk rela adalah pilihan
terbaik untuknya.
***
Di
bawah pohon terlihat pria berkemeja hitam sedang terbengung bisu, seperti
sedang membayangkan sesuatu, dengan raut wajah yang begitu gusar.
“Lain
kali kalo punya perasaaan bilang, jangan mendem, jangan gengsi, apalagi sampe
nggak sadar, penyesalan selalu ada di belakang.” Suara wanita yang terdengar
lembut itu memecah suasana hening, lelaki itu pun menengok lalu terjengah
melihati sosok wanita itu.
“Kenapa?
Kaget? Atau seneng?” ucap Meli dengan senyum gembira/
Dani
tak lantas berbicara, ia langsung berlari dan memeluk Meli, seperti
melampiaskan rindu yang kian dalam.
“Jangan
tinggalin aku lagi, aku cinta kamu, bukan sebagai sahabat, bukan.. Tapi sebagai
kamu seutuhnya, seorang wanita.” Kata Dani seraya melepas peluknya lalu menatap
Meli dengan penuh kasih sayang.
“Percuma
kalau aku disana, nggak ada gairah, bakal ngerasa tetep sepi, aku butuh kamu,
Dan…”
“Aku
janji, akan terus ada untuk kamu, menyayangimu seutuhnya, dengar aku, sekarang,
besok, kemarin, atau beberapa tahun lagi, aku pengen ngelewatin semua bareng
kamu, aku mohon, janji sama aku kamu tetep disini.”
“Aku
janji..” Kata Meli dengan penuh senyuman.
“Aku
mau pensiun jadi sahabat kamu, sekarang aku mau jadi pacar kamu.”
Meli
hanya tersipu malu mendengar ucapan Dani, lalu ia mengangguk pertanda
mengiyakan ucapan Dani.
“Cie
cinta datang terlambat nih, cie sekarang pacaran nih.. Hahaha” Giur Dani
menghidupkan suasana.
“Apasih
kamu, kan kamu yang pengen…”
“Oh
jadi kamu nggak pengen?”
“Lebih
pengen sih… Hahaha” Lalu mereka berdua tertawa gembira, menutup semua kisah,
dengan akhirnya menggembirakan, pada akhirnya kita mengerti betapa pentingnya
untuk mengerti dan menyadari tentang perasaan, sebab cinta sejati tak akan
datang untuk kedua kalinya.
Peri Tak Bergaun
Peri
Tak Bergaun
Wanita dengan pakaian sederhana itu terlihat sedang
terduduk di bangku di Taman yang tak terlalu sepi, terlihat ia seperti sedang
gelisah, menunggui sesuatu, ia hanya bolak-balik memandangi jam tangannya,
seolah sedang dikejar waktu, lalu ia beranjak dan berjalan mondar-mandir,
terlihat sangat gelisah dan bingung, layaknya angin yang bersepoi tanpa arah.
Tak
lama wanita itu terdiam, lalu memandang ke satu arah, arah dimana seorang
lelaki berdiri tegak memegang gitar, tak lama mereka bersua, lalu duduk berdua,
lelaki itu terlihat memainkan gitarnya sembari menyanyikan lagu yang sepertinya
amat mewakili perasaannya, wanita itu hanya menyipu, tersenyum gembira
memandangi lelaki itu. Lalu setelahnya lelaki itu memegang tangan wanita
tersebut, sembari mengatakan sesuatu yang membuat wanita itu senang, tak lama
wanita itu berbalas dengan memeluk lelaki tersebut, lalu ia beralih memegang
kertas, dan membacakan sesuatu untuk lelaki itu, seperti syair, atau sejenis
puisi.
Hai Pangeran..
Tahukah engkau, aku ingin menjadi seperti matahari,
yang selalu bersinar, menerangimu..
Dan layaknya bunga mawar yang pernah engkau beri,
aku ingin sepertinya, begitu indah untukmu..
Izinkanlah aku menjadi peri bagimu, walau tanpa
gaun, namun tetap indah dimatamu..
Lelaki itu terlihat begitu senang memandangi wanita
tersebut menyairkan isi hatinya, senyumnya begitu merebah, sepertinya
pikirnyapun melayang, terhempas terbang oleh buaian syair cinta wanita itu,
mereka begitu bahagia, seolah tak ada sepi dan sedih yang bergeming disana,
aura cinta begitu menguar, mengikat hati dalam suasana ria.
***
Didepan rumah yang terlihat mewah dan besar terpampang
seorang anak dan ayahnya yang sedang menikmati sarapan dan kopi pagi, sementara
ayah Andre membaca koran, Andre memainkan laptopnya, seperti sedang membaca
sesuatu.
Ayah Andre begitu memperhatikan gerak-gerik mata dari
Andre, seperti sudah tau apa yang sebenarnya Andre baca, Lalu ia memulai
percakapan, perbincangan di pagi hari.
“Kamu sedang baca puisi buatan wanita yang aneh itu? Kamu
pikir sekarang kamu berada di zaman W.S. Rendra masih suka membaca syair kuno
seperti itu.” Ujar ayahnya seolah tak suka dengan apa yang Andre baca.
“Ini buatan Anita, saya memang tak berada di zaman W.S.
Rendra, tapi Pah, saya percaya bahwa seni adalah elemen kekal dan abadi, tidak
termakan waktu, termasuk seni bersyair.” Jawab Andre seraya menatap ayahnya.
“Kamu sudah ditakdirkan berjodoh dengan Alisha, mengapa
kau tetap bersikap bodoh dengan terus mempertahankan wanita itu? Kau ingin
membuat keluargamu malu? Kamu mau buat Papah malu?” Ucap ayahnya dengan nada
keras.
“Sebenarnya saya atau Papah yang berada di zaman W.S.
Rendra? Kenapa Papah selalu memaksakan kehendak dengan memaksa saya untuk
berjodoh dengan orang yang saya tidak cinta? Berumah tangga tidak semudah itu.
Pah, apalagi tidak berlandaskan cinta. Saya bosan harus mempermasalahkan semua
ini, maaf, Pah.” Pungkas Andre seraya bergegas pergi masuk ke dalam rumah.
“Dasar anak tak tahu diuntung!” Bentak ayahnya dengan
emosi yang membludak.
***
Di rumah yang amat sederhana, terlihat seorang pria
menanti di depan, terduduk sendiri dengan wajah gelisah, dari dalam rumah
keluarlah wanita dengan pakaian sederhana berjalan mendekati pria tersebut----Anita,
sembari membawa dua cangkir gelas berisi teh hangat, seraya duduk berdua,
mereka memulai perbincangan hangat.
““Oh iya, aku diundang kan ke acara pernikahan kamu dan
Alisha?” Ucap Anita memulai pembicaraan.
“Aku takkan menikah dengannya.” Tegas Andre dengan nada
sinis.
“Mau melawan perintah orang tua?” Jawab Anita dengan nada
yang ikut sinis.
“Mau mengikuti kata hati, untuk menyayangimu.” Ujarnya,
dengan nada halus.
“Hati tak selalu benar, kalaupun ia memang benar, kadang
ia tak mengerti tentang keadaan.”
“Melawan keadaan atas nama cinta itu tidak salah, ‘kan?
“Hidup itu mengikuti keadaan, bukan melawan keadaan.”
Tegas Anita, membuat Andre tercengang.
“Seharusnya kamu mendukungku untuk memperjuangkan kita,
tapi mengapa seolah kau lebih menginginkanku menikah dengan Alisha?” Jawab
Andre tak terima.
“Kamu harus percaya, menikah dengan Alisha adalah jalan
terbaik untukmu, pernahkah kau mendengar kalau cinta tak harus saling
memiliki?” Jawab Anita kembali menentang.
“Kau tak mengerti juga, sudahlah, memang lelah berjuang
sendirian, bahkan orang yang kuperjuangkanpun tak jua mengerti.”
“Kamu akan mengerti, Ndre, nanti, suatu hari pasti kamu
akan mengerti.” Ucap Anita dengan senyum tulus.
“Terserah.” Jawab Andre seraya beranjak pergi dengan
wajah gusar.
Anita tak mencegah, ia hanya tersenyum melihat sikap
Andre, seperti ada hal yang ia inginkan dari pertengkarannya tadi, lalu ia
kembali masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan.
***
Dengan penuh kekesalan yang mengutat, Andre mengendarai
mobilnya dan bergegas pergi entah kemana, tiba-tiba suara ponselnya berdeguk
keras, pertanda panggilan masuk tiba.
“Apa!?
Baik, aku segera kesana! Kamar A12 Rumah Sakit Citra Asih, ‘kan Mah? Tunggu
Andre, Andre segera menyusul.” Panggilan yang mengejutkan itupun membuat andre
ingin segera memacu mobilnya, bergegas dengan cepat ia menuju rumah sakit
tujuannya, sesampainya disana, ia segera menuju kamar yang dituju dengan
tergesa.
“Mah!
Papah kenapa?” Ucap Andre panik.
“Serangan
jantung, Ndre, beruntung nyawanya masih belum dicabut Tuhan..” Kata Ibunya
dengan lirih seraya menyisakkan isak tangis.
“Dengan
wajahnya gusar dan panik Andre segera menuju ayahnya yang sedang terkapar lesu
tanpa suara.”
Ia
tak berkata, hanya memegangi tangan ayahnya yang dingin, sembari merintikkan
air mata, seolah Andre sangat tak ingin kehilangan ayah yang seringkali
memarahinya itu. Hari-hari berikutnya ia memilih tak pulang, ia memilih menjaga
ayahnya hingga siuman, berharap ayahnya terbangun dan melihat dirinya yang
sedang gelisah itu.
5 hari kemudian..
”Dok!!
Papah siuman, Dok! Tirak Andre sembari berlari pada Dokter yang menangani
ayahnya itu.
Tak
lama dokter melakukan checking, Andre
segera masuk kembali dan segera memeluk ayahnya yang baru siuman itu.
“Ndre,
papah mau hadiah ulang tahun papah tanggal 28 nanti kamu sudah menikah dengan
Alisha, kamu mau, ‘kan?” Ujar ayah Andre dengan suara yang masih serak.
Andre
hanya tercengang sejenak, tak gapai menjawab, ibunya hanya mengangguk dan
mengusap punggung Andre, pertanda menginginkan ia mengiyakan permintaan ayahnya
itu.
“Iya,
Pah…” Jawab Andre dengan nada yang lirih dan wajah memelas, penuh keterpaksaan.
“Terima
kasih, Ndre..” Ujar ayahnya dengan senyum bahagia.
Andre
hanya mengangguk pelan dengan wajah yang sukar tersenyum. Setelahnya suasana
keluarganya kembali menjadi ceria, dan tentram, setelah Andre mau mengalah pada
ayahnya.
***
Dibawah
pohon yang rindang dan sejuk, terlihat wanita yang sedang menulis sesuatu,
diatas batu cadas ia terduduk tenang, seolah sedang menyerap inspirasi yang hadir,
tak lama seorang pria berbadan tegak singgah disampingnya, lalu ikut terduduk,
pria yang sudah tak asing baginya----kekasihnya.
“Judul syairnya apa, Nit?” Ucap Andre memulai
pembicaraan.
“Peri Bergaun Cahaya” Jawab Anita, seraya menatap dengan
senyuman.
“Menceritakan tentang wanita yang teramat cantik dengan
balutan gaun nan-indah, semakin membuatnya semakin bercahaya.” Lanjutnya.
“Peri tak harus bergaun bagus untuk tetap terlihat
cantik, sosok peri untukku adalah kamu, meski tanpa gaun, namun tetap
bercahaya.” Pungkas Andre, sembari menatap dalam Anita.
“Kamu sedang membaca syair, atau sedang berbicara isi
hatimu padaku?” Tanyanya dengan wajah penasaran.
“Menyairkan isi hati ini untukmu, Nit.” Jawabnya singkat.
Anita hanya tersenyum gembira, sembari kembali menuliskan
syairnya.
“Maaf
ya, yang kemarin aku emosi.”
“Tak
apa, Ndre… Ohiya aku udah terima undangannya, selamat ya.” Ucap Anita, dengan
nada yang teramat lirih.
“Aku
terpaksa, Nit… Sejujurnya aku tak ingin, semoga ini yang terbaik buat kita..”
“Aku
‘kan sudah bilang, itu yang terbaik untuk hidupmu, percaya sama aku, pada
akhirnya kamu akan mengerti mengapa aku bilang semua ini yang terbaik.”
“Jangan
pernah lupain aku ya, Nit, kamu tetap akan jadi peri tak bergaun untukku, meski
bukan dalam pelukku.’
“Peri
itu tak ada, peri hanya bayang-bayang, kalaupun ia ada, ia pasti akan kembali
ke langit, ‘kan?” Ucapnya.
Andre
tak menjawab, ia hanya terbengung mendengar ucapan Anita yang begitu menyentuh,
ia hanya mengusap rambut Anita.
“Jangan
buang syair-syair aku ya, syair-syair itu suatu saat akan kau ingat, kalau
pernah ada wanita penyair yang kamu
anggap peri.”
“Pasti..”
Ucap Andre dengan nada sendunya, seolah berat melepas Anita, matanya mulai
berkaca, betapapun hatinya tak rela harus merelakan orang yang ia cinta, tak
pelak ia berharap perpisahan ini takkan berujung sesal, tak ayal ia berdoa
jikalau keputusannya ini yang terbaik untuknya, juga untuk Anita.
***
27 Oktober 2013, sehari sebelum
pernikahan Andre dan Alisha
Didekat
batu nisan, terlihat seorang pria sedang menangis, begitu keras isaknya, begitu
dalam lirihnya menguar, air mata seorang lelakipun terkucur deras ketika orang
yang paling ia tidak inginkan pergi, pergi meninggalkannya tanpa sepatah
katapun.
Pangeranku, Andre
Segurat syair ini mungkin akan kau
baca ketika aku pergi menuju langit
Tugasku sebagai peri-mu, sudah
selesai, kini saatnya aku kembali ke langit
Maafkanlah peri tak bergaunmu ini
jikalau ia tak sempat berucap
Jika ada yang kau tidak ketahui
tentangku, atau tidak ku beri tahu
Sesungguhnya aku bukan tak
memercayaimu, hanya saja itulah caraku berkorban
Setidaknya pernah mengenalmu adalah
indah, dan bersamamu adalah yang terindah
Simpanlah syairku ini, biarkanlah
ku terbang, meski tanpa sayap..
Satu pintaku, berjanjilah untuk
berbahagia, meski tanpaku…
Dan kenanglah aku sesekali, sebagai
seorang wanita, atau bahkan peri..
Salam cinta, Anita Adelia, peri tak
bergaunmu. J
Anita pergi untuk selamanya, penyakit jantung yang ia
pendam selama ini ternyata adalah alasannya untuk melepas Andre, Andre-pun rela
melepas Anita, dengan begitu kehidupan barunya dengan Alisha di mulai, semua
berjalan sesuai harapan, tak ada sesal, tak ada yang terluka.
“Cinta
adalah tentang melakukan yang terbaik, bukan tentang menjadi sempurna, atau
memiliki.”
Senin, 09 September 2013
Kakak, Aku Cinta Kamu
Kakak, Aku Cinta Kamu
Sekolah ini menjadi saksi cerita
indahku dengannya. Gedung megah ini menyaksikan betul bagaimana tegur sapa
kami, dan perjuanganku yang berusaha menggapai cintanya, dan gedung ini pula
melihat benar saat bagaimana hati yang telah patah karena kekasih terdahulu ini
mencari cinta sejatinya, hingga akhirnya gedung inipun menggetahui pasti
bagaimana aku mencintainya dalam diam, dan dia mencintaiku dalam sunyi.
Sebenarnya sulit untuk
menggambarkan betul bagaimana kisah kami. Ah, ini terlalu bodoh. Aku harus
mengingat lagi hal yang menyakitkan disaat aku; seorang lelaki yang hanya bisa
memendam perasaannya. Tidak! Ini bukan karena aku seorang pengecut. Hanya saja
inilah upayaku tahu diri. Karena dia bukan milikku; sekalipun aku merasakan ada
getar cinta antara kita. Dan bukan juga karena aku tidak berupaya mencari cinta
yang lain saja. Namun percobaanku hanya membuat orang lain tersakiti. Entahlah,
dia benar-benar membuatku mencintainya.
Inilah aku, Ramdani, biasa
dipanggil Dani. Pelajar kelas 1 jurusan Marketing di SMKN 1 Kota Serang, di
Negeri Madani, ibukota Banten. Aku anak yang lumayan terkenal disekolah, selain
karena kegiatan OSIS, aku juga dikenal sebagai anak yang pintar karena aku
adalah salah satu siswa berprestasi yang diberi beasiswa oleh sekolah. Namun
semua itu tidak membuatku mudah untuk menemukan cinta layaknya mereka. Karena
sejak awal kedatanganku, aku benar-benar sudah jatuh hati padanya. Hingga tanpa
kusadari, sepenuh hati ini telah dicuri olehnya. Aku mencintai dia.
Nabila
Itu nama yang sedang
kuperbincangkan kini. Aku mengenalnya, atau lebih tepatnya aku mulai
menggetahuinya sejak pertama kali aku masuk sekolahku ini, dia adalah Seniorku
yang menjadi panitia saat masa orientasi disekolahku kala itu. Mungkin dia
tidak secantik mahasiswa lain, bukan karena dia tidak cantik, namun memang ada
banyak yang lebih cantik darinya, dia terlihat begitu galak saat itu, awalnya
kukira dia tipekal perempuan jutek. Namun, dia punya nilai lebih dimataku
karena meskipun ia begitu beringas kepada peserta MOS lain, namun tidak ketika
ia berhadapan denganku, aku seakan menjadi sosok yang didiskriminasikan,
sikapnya padaku begitu lembut. Dia begitu memperhatikanku. Hanya aku, tidak
dengan yang lain.
Masa orientasipun selesai, jujur
hal pertama yang kusedihkan ketika menggetahui masa orientasi telah usai adalah
aku tak dapat lagi memandangi dia, Kak Nabila. Dan sejak saat itu juga aku
mulai sadar aku menyukainya, namun sebagai seorang junior aku tak cukup berani
untuk mendekatinya, aku hanya mendekatinya, atau mungkin ingin terus
mengenalnya dengan mencari asal-usul serta apapun tentangnya melalu jejaring
social seperti facebook atau twitter. Di dunia maya pun dia masih memukau
dengan foto profil yang menawan. Baru kuketahui juga dia adalah seorang model.
Ah, aku semakin mengaguminya. Aku mulai sering menyapanya lewat jejaring
social, bahkan pada akhirnya aku berhasil mendapat nomor teleponnya. Rasanya
aku semakin merasakan nada-nada cinta bermelodi deras dalam hati ini.
Aku mulai mengenalnya. Mulai lebih
jauh mengenalnya, mulai menggetahui asal-usulnya, kebiasaannya, kesukaannya,
hal yang ia tak sukai, dan siapa saja teman-temannya. Sesekali pertemuan kita
terjadi di sekolah, kau menyapaku dan dengan sedikit tersipu aku ikut menyapamu;
sekalipun disekeliling kita ada teman-temanku dan teman-temanmu. Aku senang
dengan keadaan ini, meski seringkali kami diejek oleh teman-teman kami, namun
pada akhirnya aku mulai mengenal dan berteman dengan teman-temanmu, dan kaupun
begitu; mulai dikenal teman-temanku. Kau mampu memberi perhatian terbesar
padaku, memberi semangat padaku, layaknya seorang kakak sungguhan bagiku. Kau
mampu memberikan senyum terlebarmu untukku, sapa yang membuatku tersipu, pujian
yang membuatku malu, dan banyak lagi. Ah, rasanya aku ingin terus seperti ini.
Aku terlalu menikmati keadaan
sampai akhirnya lupa diri. Aku mulai membuat kesalahanku sendiri; mencintaimu.
Aku menikmati betul senyummu yang selalu hadir dalam hari-hariku disekolah,
perhatianmu di sms, dan semua kata-katamu yang selalu menjadi penyemangat
bagiku. Aku mulai merasa aku ingin selalu ada didekatmu----menikmati momen
indah ini bersama. Aku mulai tak tahu diri, aku bukan lagi mencintaimu sebagai
seorang kakak, kini aku mencintaimu sebagai seorang perempuan. Aku terjebak
dalam situasi rumit ini, sulit rasanya tuk membohongi diri sendiri.
Jika aku sudah benar-benar
mencintaimu, takkan salah bukan jika aku menginginkanmu untuk menjadi seorang
untuk kupanggil ‘sayang’? Mungkin tak ada satupun yang menggetahuinya karena
yang mereka tau aku adalah aku sebagai adik, bukan lebih. Namun aku tak dapat
membendung perasaan ini. Sikapmu benar-benar menenggelamkanku dalam kolam
kebahagiaan hingga aku mulai tak tahu diri.
Oh Tuhan, aku masih bingung menebak
mengapa aku begini? Salahkah bila aku cinta? Bukankah cinta adalah anugerah-Mu?
Ah, ini menyakitkan. Apakah kau menggetahui ini, Kak?
Berhenti perbincangkan perasaanku
padanya, cobalah sedikit menerka apa yang dia rasakan. Aku rasa dia benar-benar
menganggapku sebagai adiknya yang ia sayangi, adik kecilnya yang harus
disemangati dan diperhatikan. Awalnya aku mengira dia yang lebih dulu
mencintai, dia yang lebih dulu merasakan ini. Namun semua seakan pupus saat kau
menceritakan kau sudah punya seorang kekasih, yang juga kau sayangi.
Aku mulai mencari tahu siapa orang
yang kau cintai itu, sampai akhirnya aku menemukannya. Ternyata akupun
mengenalnya, dia adalah teman dari sahabatku. Entahlah, menggetahui keadaan ini
membuatku perih, lantas apakah arti perhatianmu selama ini, Kak? Mungkin
sekarang gedung sekolah ini sedang menggelengkan kepalanya mengasihaniku.
Sebelumnya, aku mengalami hal yang
sama; patah hati. Namun kali ini kasusnya berbeda, jika pada sebelumnya aku
patah hati karena kekasihku yang menyelingkuhiku, maka kali ini aku patah hati
disaat aku mengharapkan kehadiran cinta yang dapat meleburkan lara ini menjadi
senyuman terlebar. Namun, apa daya.. Pengharapanku hanya berujung sesal. Tapi
tak sedikitpun sesal ku ini adalah salahmu. Sejujurnya memang ini kesalahanku
sendiri-----membiarkan hatiku mencintaimu.
Ini menjadi hal yang berat bagiku,
saat aku harus bertemu dengan orang yang kusayang namun tak menyayangiku.
Mungkin kakak tersayangku itu tak menyadarinya---bahwa aku memiliki perasaan
besar padanya. Tanpa sadar kau senyumi aku, tanpa sadar kau belai rambutku,
tanpa sadar kau lontarkan kata lembut untukku, menyemangatiku, menanyakan
keadaanku, dan banyak lagi yang telah kau lakukan. Tahukah engkau, Kak? Semua itu
telah menyeretku untuk terjatuh pada hatimu.
Entah apa yang berbeda denganmu
kini, tiba-tiba kau lebih banyak membicarakan tentang kekasihmu, menceritakan
momenmu dengannya, dan dengan penuh keceriaan kau ceritakan kalau kau begitu
menyayanginya. Apakah kau tahu kak, setiap kata-kata yang kau untaikan untuk
menceritakan kekasihmu itu begitu menyayat bagi adikmu ini?
Hampir sejak hari itu----semenjak
aku mulai banyak bertanya tentang kekasihmu, kau mulai berubah, topikmu kini
hanya berisi tentang kekasihmu saja. Namun, aku tetap bertahan. Aku tetap menjadi pendengar yang
baik untukmu, aku tetap merespon dengan ceria setiap ocehanmu kala
membicarakannya. Bahkan, aku membantumu untuk memilihkan hadiah untuk kekasihmu
itu.
Hingga semua yang terjadi membuatku
tersadar akan suatu hal, hingga jeri-jeri sakit ini meneriakkan lelahnya,
hingga hati yang semula bercahaya ini meredupkan sinarnya. Senyum kebahagiaan
kinipun hanya menjadi air mata kesedihan. Aku mencoba menghapuskan bayangmu,
aku mencoba menghindarimu, atau tidak menghubungimu, setidaknya untuk sementara
waktu sampai hati ini bisa meniadakan namamu untuk dinyanyikannya.
Namun, tidak menghubungimu tak
berarti tak memperhatikanmu, aku masih tetap tahu seluruh kegiatanmu, Kak.
Mulai dari stalking timeline Twittermu, status Facebookmu, dan jejaring
lainnya. Terlihat jelas kau sedang ‘galau’ yang menjadi tren anak muda masa
kini. Entah apa yang kau perdebatkan dalam kegalauanmu di jejaring-jejaring
milikmu itu, kau seperti sedang kehilangan seseorang. Mungkinkah aku? Ah,
mungkin itu hanya kekasihmu yang belum sempat menghubungimu.
Aku mulai terbiasa dengan
hari-hariku, aku mulai terbiasa dengan kesibukkan dan kegiatanku, hanya ada
satu yang tak dapat kulepas dari pikiranku ini; namamu. Namamu masih
bermunculan dalam khayal imajinasiku. Tak henti aku menjadi mata-mata di
jejaring-jejaring sosialmu. Hingga di sela-sela kesibukanku aku kembali
mengingatmu, mengenangmu…. Dan merindukanmu. Aku kembali lagi mengingat
saat-saat terindah bagi kita. Ah, rasanya aku ingin kembali ke momen itu.
Pesan singkat darimu terus
bermunculan menggetarkan ponselku, direct message di twitter juga bersiul deras
bermunculan, dan message di facebook menyajikan pesan-pesanmu yang terlihat
ingin sekali aku membalasnya. Tak jarang kita bertemu sekilas, kau menyapaku
dan aku hanya terdiam sembari memberikan sedikit senyum palsu padamu. Tak
jarang usai pertemuan itu kau langsung mengirimi ku satu pesan singkat berisi
bertanya mengapa aku berubah tanpa sebab. Hai Kak, maafkan adik kecilmu ini, aku hanya ingin mencoba melupakanmu, Kak.
Selama tak ada dirinya, ada Shinta
yang menemani hari-hariku, kadang kita bertemu hanya untuk saling bercerita
satu sama lain, tentang apapun itu. Berkirim pesan singkatpun tak henti kami
lakukan. Tak jarang aku menelponnya di malam hari hanya untuk membunuh sepiku.
Dia selalu ada, layaknya sahabat bagiku. Aku menganggapnya sebagai sahabat
wanita terbaikku, meski kadang aku sedikit merasakan kalau dia menyukaiku, atau
kadang teman-temanku memberitahuku bahwa dia mencintaiku. Namun entahlah, aku
cukup nyaman dengan persahabatan ini. Belum tersirat dalam pikirku untuk lebih
dari ini. Diapun tahu aku sangat menyayangi Nabila, dan Nabila merupakan teman
dekatnya, karena rumah mereka berdekatan. Aku hanya ingin fokus untuk melupakan
Nabila sekarang ini, tapi belum siap untuk mencari cinta yang baru.
Sekitar 1 bulan semua itu berlalu,
kau sudah mulai berhenti mengirimiku pesan singkat, message Facebook¸ atau
direct message Twitter. Hingga akhirnya temanku, Rita yang sama-sama satu
ekstrakulikuler, Paduan Suara denganmu memberiku sepucuk surat. “Ini dari Kak
Nabil, Dan” sodornya memberikanku surat. Tak selang beberapa saat, aku segera
pulang kerumah tak sabar membaca surat darimu ini. Ini adalah kali pertamaku
menerima surat dari perempuan. Ini unik bukan di tahun 2013 ada wanita yang
mengirimiku surat?
Sembari mendengarkan lagu, kubuka
surat darinya. Kebetulan sekali lagu yang terputar adalah lagu “Tahu Diri” yang
dinyanyikan oleh Maudy Ayunda. Sembari serius membaca, lagu ini seakan menambah
penghayatanku untuk membaca surat darinya. Akhirnya kubaca surat darinya.
Serang, 18
Maret 2013
Untuk Adikku, Dani
Assalamualaikum Wr. Wb.
Hai dan, jujur aku bingung
harus bagaimana, mungkin surat ini bisa menjelaskan semuanya.
Dan, kamu kemana aja? Udah
nggak pernah sms, nelpon, mention, komentarin status aku, dan kenapa Dan kalau
kita ketemu kamu jadi seolah nggak kenal aku gitu?
Aku khawatir, aku nggak
tenang, aku cariin kamu. Aku sampai telpon, sms, mentiom, wall Facebook, tapi
ga ada satupun yang kamu tanggepin. Aku kangen kamu Dan, aku tetep butuh adik
yang selalu support aku, aku khawatir takut adik yang aku sayang ini
kenapa-kenapa.
Kamu kenapa? Kenapa kamu
jadi berubah? Kamu udah lupa sama kakak? Kamu tahu Dan? Tiap hari aku nunggu
sms kamu, nunggu kamu ngingetin aku untuk Shalat, aku nunggu kamu ngingetin
makan, aku juga kangen puisi-puisi buatan kamu yang bisa bikin aku ngeluarin
air mata. Apa salah aku Dan? Tolong, kamu ceritakan..
Terakhir aku denger dari
teman-temanmu, katanya kamu begini karena patah hati. Kamu begini karena ingin
“Move On”? Dan, jujur aku kaget dengernya. Apalagi pas denger kalau semua itu
gara-gara aku. Apa ini karena pacar kakak, Dan?
Maafin aku Dan udah bikin
kamu sayang sama aku, maaf aku yang mulai semua kedekatan kita ini. Jujur Dan,
aku emang udah suka sama kamu sejak awal, entah karena hal apa… Kamu harus tau
itu.
Tapi, aku mundur buat sayang
sama kamu, karena ada Aldi, Aldi jauh lebih lama mengenal aku, dia mantan aku,
Dan.. Kami balikkan karena dia terlihat sangat menyayangiku, dia sesali semua
kesalahan di masalalu dan ingin kembali merajut kisah kita. Aku luluh kala itu,
Dan. Aku juga masih menyimpan rasa padanya, dan aku nggak mungkin nolak dia,
Dan… Aku mundur juga karena Shinta, Shinta teman dekatku yang menyayangimu,
Dan. Rasanya kalau aku lebih dekat sama kamu, aku bakal nyakitin dia. Aku juga
ngerasa dia lebih pantes buat kamu, Dan..
Kita nggak mungkin bersatu
buat jadi sepasang kekasih, Dan. Kita harus tegar, dan coba terima kenyataan
kita ini. Maafin kakak kamu ini ya, Dan.. Kakak sampai nangis nulis surat ini…
Hehehe, maaf kalau kakak cengeng… Tolong kamu jangan begini lagi Dan, jangan
jauhin aku gini, jangan pergi dari kakak.. Kakak tetep butuh kamu… Kakak sepi
tanpa adik yang jago gombal kaya kamu. Kamu bakal jadi Adikku terus, adik yang
kakak sayang… Aku mohon, kembalilah adikku sayang. L
Membaca surat ini membuatku terharu, tak dapat
berkata, hingga akhirnya mata hanya berkaca-kaca. Aku tertegun, aku bingung.
Ada sedikit rasa bersalah untukku, aku tega membiarkan seorang perempuan
menangis… Aku ingin segera menemuinya!
Kebetulan
besok hari Minggu, segera kumanfaatkan untuk mengajaknya bertemu. Segera ku
kirim pesan singkat, “Kak Nabil I really miss you, I wanna meet you tomorrow
kak please!!!”. Tak lama, ponsel milikku bergetar pertanda pesan singkat masuk.
“DANIIII Akhirnya kamu sms akuuu!!! Aku mau aku mau besok dimanaaaa!!!???”
balasnya. Dia terlihat sangat gembira, akhirnya aku membuat jadwal pertemuan.
Kita memutuskan untuk bertemu di Alun-Alun kota Serang pada jam 9 pagi.
Sekitar
puku 08.30 pagi ketika aku hendak berangkat ponselku bergetar kencang, segera
kulihat; ternyata Kak Nabil menelponku. “Assalamuala’ikum, Dan kok aku sms
nggak kamu balas-balas? Kita jadikan? Kakak udah sampai di Alun-Alun Dan kamu
cepat kesini ya.” Ujarnya di telpon. “Waalaikumsalam kak, wah Kakak udah
sampai, iya kak tunggu ya aku jalan kesana. See you kak.” Akhirku sembari
menutup telpon sembari bergegas mengeluarkan motor.
Sesampainya disana, aku melihat seorang wanita cantik yang berkerudung
apik, terlihat sedang sendiri. YA! Itu kakakku! Perlahan aku mencoba
menghampirinya, dan singgah didepan matanya. Aku benar-benar ada di dekatnya
kini, kusapa wanita cantik ini “Kak? Maaf ya Kak bikin nunggu.” Ia langsung
menatapku serius, lalu ia berdiri dan bersegera memelukku sembari berkata “Kamu
jangan pergi lagi, kamu tetap adikku. Aku tetap butuh kamu untuk tempat
bercerita, tetap disini ya..” Dengan lembut ia mengatakannya padaku. Aku
terpaku, terdiam, terharu. Mungkin ini kali pertamanya aku dipeluk seorang
wanita selain ibuku, dan dia benar-benar mendekapku dengan hangat. Dia
mengakhiri peluknya, aku membalas kata-katanya “Iya kak, maafin aku ya kak,
kita bakal terus jadi adik-kakak yang akur ya.”
“Pacaran
belum tentu bahagia, belum tentu selamanya, malah terkadang lebih menyakiti
batin.” Aku mencoba menanamkan ini dalam hati dalam upayaku tahu diri, dan
mencoba untuk menikmati keadaan.
Aku belajar
banyak dari kisahku ini, bahwa kadang kita tak bisa memaksakan kehendak dalam
cinta; kita harus tahu diri. Mengenali situasi dan mengerti kondisi serta
selalu berpikir positif akan membantu kita. Pada dasanya cinta tercipta untuk
membahagiakan bukan? Dan cinta bukan keegoisan bukan? Mungkin merelakan berat,
namun dalam cinta merelakan adalah pilihan. Sekalipun menyakitkan, sekalipun
sulit. Cinta bukan alasan untuk menyakiti, dan cinta tak selalu berupa cinta
pada kekasih. Karena cinta dapat menjelma menjadi wujud lainnya. MIsal dalam
kisahku ini; merelakannya menjadi seorang kakak. Maka cintailah karena ingin
membahagiakan, bukan karena ingin memiliki.
Muhammad
Shahdan
Langganan:
Postingan (Atom)